ASSALAMU'ALAYKUM. SILAHKAN SURFING DI BLOG SAYA. SEMOGA BERKENAN! ^_^

Sabtu, 26 Desember 2009

Keajaiban Akhir Zaman

Sesungguhnya keajaiban manusia di akhir zaman ini sangat banyak dan nyata sekali. Terkadang kita kurang jeli memperhatikannya sehingga terlihat dunia ini berjalan baik-baik saja. Namun, bila kita cermati dengan baik, kita akan menemukan segudang keajaiban dan keanehan dalam kehidupan manusia akhir zaman dan hampir dalam semua lini kehidupan. Keajaiban yang kita maksudkan di sini bukan terkait dengan persitiwa alam seperti gempa bumi, tsunami dan sebagainya, atau kejadian yang aneh-aneh lainnya, melainkan pola fikir manusia yang paradoks yang berkembang biak di akhir zaman ini.

Berikut ini adalah sebagian kecil dari berfikir paradoks yang berkembang akhir-akhir ini dalam masyarakat luas. Lebih ajaib lagi, berfikir paradoks tersebut malah dimiliki pula oleh sebagian umat Islam dan para tokoh mereka. Di antaranya:


Bila seorang pengusaha atau pejabat tinggi melakukan korupsi milyaran dan bahkan triliunan rupiah, maka aparat penegak hukum dengan mudah mengatakan tidak ada bukti untuk menahan dan mengadilinya.


Namun, bila yang mencuri itu seorang nenek atau masyarakat bawah (lemah), dengan mudah dapat ditangkap, disidangkan dan diputuskan hukuman penjara, kendati mereka mengambil hanya satu buah semangka atau tiga buah kakau, mungkin saja karena lapar.


Bila ada orang atau kelompok dengan nyata-nyata merusak dan melecehkan ajaran Islam yang sangat fundamental, seperti Tuhan, Kitab Suci dan Rasulnya, di negeri-negeri Islam, maka orang dengan gampang mengatakan yang demikian itu adalah kebebasan berpendapat, berekspresi dan menafsirkan agama.


Namun, bila ada khatib, ustazd atau masyarakat Muslim mengajak jamaah dan umat Islam untuk konsiten dengan ajaran agamanya, maka orang dengan mudah menuduhnya sebabai khatib, penceramah atau ustazd yang keras dan tidak bisa berdakwah dengan hikmah, bahkan perlu dicurigai sebagai calon teroris.


Apa saja yang dituliskan dalam koran, dengan mudah orang mempercayainya, kendati itu hanya tulisan manusia dan belum teruji kebenarannya. Membaca dan mempelajarinya dianggap lambang kemajuan.


Akan tetapi, apa yang tercantum dalam Al-Qur’an belum tentu dipercayai dan diyakini kebenarannya, kendati mengaku sebagai Muslim. Padahal Al-Qur’an itu Kalamullah (Ucapan Allah) yang mustahil berbohong. Kebenarannya sudah teruji sepnajang masa dari berbagai sisi ilmu pengetahuan. Akhir-akhir ini muncul anggapan mengajarkan Al-Qur’an bisa mengajarkan paham terorisme.


Tidak sedikit manusia, termasuk yang mengaku Muslim yakin dan bangga dengan sistem hidup ciptaan manusia (jahiliyah), kendati sistem yang mereka yakini dan banggakan itu menyebabkan hidup mereka kacau dan mereka selalu menghadapai berbagai kezaliman dan ketidak adilan dari para penguasa negeri mereka. Mereka masih saja mengklaim : inilah jalan hidup yang sesuai dengan akhir zaman.


Namun, bila ada yang mengajak dan menyeru untuk kembali kepada hukum Islam, maka orang akan menuduh ajakan dan seruan itu akan membawa kepada keterbelakangan, kekerasan dan terorisme, padahal mereka tahu bahwa Islam itu diciptakan oleh Tuhan Pencipta mereka (Allah) untuk keselamatan dunia dan akhirat dan Allah itu mustahil keliru dan menzalimi hamba-Nya.


Ketika seorang Yahudi atau agama lain memanjangkan jenggotnya, orang akan mengatakan dia sedang menjalankan ajaran agamanya.


Namun, saat seorang Muslim memelihara jenggotnya, dengan mudah orang menuduhnya fundamentalis atau teroris yang selalu harus dicurigai, khususnya saat masuk ke tempat-tempat umum seperti hotel dan sebagainya


Ketika seorang Biarawati memakai pakaian yang menutup kepala dan tubuhnya dengan rapih, orang akan mengatakan bahwa sang Biarawati telah menghadiahkan dirinya untuk Tuhan-nya.


Namun, bila wanita Muslimah menutup auratnya dengan jilbab atau hijab, maka orang akan menuduh mereka terbelakang dan tidak sesuai dengan zaman, padahal mereka yang menuduh itu, para penganut paham demokrasi, yang katanya setiap orang bebas menjalankan keyakinan masing-masing.


Bila wanita Barat tinggal di rumah dan tidak bekerja di luar karena menjaga, merawat rumah dan mendidik anaknya, maka orang akan memujinya karena ia rela berkorban dan tidak bekerja di luar rumah demi kepentingan rumah tangga dan keluarganya.


Namun, bila wanita Muslimah tingal di rumah menjaga harta suami, merawat dan mendidik anaknya, maka orang akan menuduhnya terjajah dan harus dimerdekakan dari dominasi kaum pria atau apa yang sering mereka katakan dengan kesetaraan gender.


Setiap mahasiswi Barat bebas ke kampus dengan berbagai atribut hiasan dan pakaian yang disukainya, dengan alasan itu adalah hak asasi mereka dan kemerdekaan mengekpresikan diri


Namun, bila wanita Muslimah ke kampus atau ke tempat kerja dengan memakai pakaian Islaminya, maka orang akan menuduhnya eksklusif dan berfikiran sempit tidak sesuai dengan peraturan dan paradigma kampus atau tempat kerja mereka.


Bila anak-anak mereka sibuk dengan berbagai macam mainan yang mereka ciptakan, mereka akan mengatakan ini adalah pembinaan bakat, kecerdasan dan kreativitas sang anak.


Namun, bila anak Muslim dibiasakan mengikuti pendidikan praktis agamanya, maka orang akan mengatakan bahwa pola pendidikan seperti itu tidak punya harapan dan masa depan


Ketika Yahudi atau Nasrani membunuh seseorang, atau melakukan agresi ke negeri Islam khususnya di Paestina, Afghanistan, Irak dan sebagainya, tidak ada yang mengaitkannya dengan agama mereka. Bahkan mereka mengakatakan itu adalah hak mereka dan demi menyelamatkan masyarakat Muslim di sana.


Akan tetapi, bila kaum Muslim melawan agresi Yahudi atas Palestina, atau Amerika Kristen di Irak dan Afghanistan, mereka pasti mengaitkannya dengan Islam dan menuduh kaum Muslim tersebut sebagai pemberontak dan teroris


Bila seseorang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang lain, maka semua orang akan memujinya dan berhak mendapatkan penghormatan.


Namun, bila orang Palestina melakukan hal yang sama untuk menyelamatkan anaknya, saudaranya atau orang tuanya dari penculikan dan pembantaian tentara Israel, atau menyelamatkan rumahnya dari kehancuran serangan roket-roket Israel, atau memperjuangkan masjid dan kitab sucinya dari penodaan pasukan Yahudi, orang akan menuduhnya TERORIS. Kenapa? Karena dia adalah seorang Muslim.


Bila anak-anak Yahudi diajarkan perang dan senjata otomatis untuk membunuh kaum Muslimin Palestina, maka orang akan menegatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah upaya membela diri kendati mereka adalah agresor


Namun, bila anak Palestina belajar melemparkan batu menghadapi prajurit Yahudi yang dilengakapi dengan tank dan senjata canggih lainhya saat menghancurkan rumah, masjid dan kampung mereka, maka orang akan menuduh mereka sebagai pelaku kejahatan yang pantas ditangkap, dipatahkan tangannya dan dipenjarakan belasan tahun.

Nah, inilah sekelumit keajaiaban manusia di akhir zaman ini. Bisakah kita mendapatkan pelajaran yang baik sehingga dapat menentukan sikap yang benar, atau kita akan jatuh menjadi korban keajaiban akhir zaman? Allahul musta’an…

source : eramuslim.com

Baca Selengkapnya......

Senin, 21 Desember 2009

Syukur Mengubah Hidup

Syukur, suatu kata yang sangat berbobot dan memberikan makna yang tidak terhingga. Allah telah menjamin dalam Al Quran, barang siapa yang bersyukur maka Allah akan menambah nikmat kepada orang tersebut. Sudahkan Anda bersyukur? Sudahkah Anda merasakan tambahan nikmat atas syukur Anda? Apakah Anda ingin mendapatkan nikmat yang lebih besar lagi? Lupakan mengeluh, mulailah perbanyak syukur.

Ada dua manfaat besar dari bersyukur. Kedua manfaat ini akan mengubah hidup kita jika kita mendapatkannya.

1. Pahala dari Allah. Jelas, bersyukur adalah perintah Allah, kita akan mendapatkan pahala jika kita bersyukur dengan ikhlas.
2. Menciptakan Feeling Good. Dengan bersyukur akan membuat kita lebih bahagia. Perasaan kita menjadi lebih enak dan nyaman dengan bersyukur. Bagaimana tidak, pikiran kita akan fokus pada berbagai kebaikan yang kita terima.

Lalu apa manfaat Feeling Good?


* Jika Anda yang percaya dengan Hukum Daya Tarik (law of attraction), feeling good akan meningkatkan kekuatan Anda menarik apa yang Anda inginkan. Kekuatan hukum ini akan sebanding dengan keyakinan dan perasaan positif. Sementara semakin banyak kita bersyukur, akan semakin banyak perasaan positif pada diri kita.
* Motivasi akan muncul dari kondisi emosi yang positif (dibahas lebih lanjut pada ebook saya Motivasi Diri). Sementara bersyukur akan menciptakan emosi yang positif karena kita fokus apda hal-hal yang positif. Semakin banyak Anda bersyukur akan semakin besar motivasi yang Anda miliki.
* Bersyukur akan membentuk pola pikir sukses. Pola pikir sukses adalah keyakinan dalam mendapatkan. Saat kita bersyukur, maka pikiran kita secara tidak sadar diberikan suatu “pola” mendapatkan, sehingga akan terbentuk pola sukses.

Dengan melihat ketiga manfaat dari feeling good, kita bisa menyimpulkan bahwa feeling good adalah mungkin menjadi salah satu cara Allah memberikan nikmat tambahan kepada kita. Jika orang baru ribut dengan manfaat syukur pada kahir-akhir ini, Al Quran sudah 14 abad yang lalu. Sungguh suatu nikmat Allah yang diberikan kepada kita, sayang jika kita mengabaikannya.

Cara Meningkatkan Syukur
Saya yakin, Anda yang mau membaca artikel ini adalah orang-orang yang pandai bersyukur. Namun bukan berarti kita tidak perlu meningkatkan. Setinggi apa pun Anda menjadi hamba yang bersyukur, Anda masih tetap perlu meningkatkan syukur Anda. Jika Anda baru bersyukur saat menambatkan nikmat berupa materi, ini adalah baru tahap awal menjadi hamba yang pandai bersyukur.

* Untuk meningkatkan rasa bersyukur, kita harus lebih jeli dan peka terhadap berbagai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Kurangnya kepekaan terhadap nikmat Allah akan mengurangi syukur kita, sebab kita merasa tidak ada yang perlu disyukuri lagi. Meningkatkan kepekaan bisa dilakukan dengan melakukan perenungan terhadap apa yang terjadi pada hidup kita sehari-hari. Luangkan waktu Anda setiap hari untuk merenungkan nikmat setiap harinya.
* Setiap saat, kita mendapatkan nikmat baru. Satu detik waktu berlalu berarti kita mendapatkan nikmat hidup selama satu detik. Nafas kita, penglihatan kita, penciuman kita, detak jantung kita dan sebagainya yang tidak mungkin disebutkan disini.
* Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, baik kejadian pad diri sendiri maupun orang lain. Sementara setiap saat selalu ada kejadian, berarti selalu ada hikmah yang bisa kita ambil. Sementara hikmah adalah suatu nikmat. Syukurilah.

Sudahkah kita bersyukur hari ini?

Sumber Artikel : Motivasi-islami.com

Baca Selengkapnya......

Rabu, 16 Desember 2009

Hati-Hati Membicarakan Orang Lain

Membicarakan aib orang lain atau ghibah telah Allah haramkan secara jelas dan tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. al-Hujurat:12)

Penjelasan tentang hakikat ghibah telah disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yaitu,
"Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan)." (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengharamkan kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram, dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negri kalian ini. Ingat! Bukankah aku telah menyampaikan?" (HR Muslim).

Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri. Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azib radhiyallahu ‘anhu dia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya." (Silsilah ash-Shahihah no. 1871)

Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu wata’ala akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, disetujui oleh adz-Dzahabi, lihat Silsilah ash-Shahihah no. 437)

Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin Ghanam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
"Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan mengadu domba, memecah belah antara orang-orang yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah orang-orang yang baik.” (HR. Ahmad 4/227, periksa juga kitab "Hashaid al-Alsun" hal. 68)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Wahai sekalian orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya maka pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam rumahnya." (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/200)

Para salaf adalah orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut jika terjerumus melakukan hal itu. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dia berkata, "Aku mendengar Abu ‘Ashim berkata, "Semenjak aku ketahui bahwa ghibah adalah haram, maka aku tidak berani menggunjing orang sama sekali." (at-Tarikh al-Kabir (4/336)

Al-Imam al-Bukhari mengatakan, "Aku berharap untuk bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala dan Dia tidak menghisab saya sebagai seorang yang telah berbuat ghibah terhadap orang lain."

Imam Adz-Dzahabi berkomentar, "Benarlah apa yang beliau katakan, siapa yang melihat ucapan beliau di dalam jarh dan ta'dil (menyatakan cacat dan jujurnya seorang perawi) maka akan tahu kehati-hatian beliau di dalam membicarakan orang lain, dan sikap inshaf (obyektif) beliau di dalam mendhaifkan/melemahkan seseorang.

Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi) mengatakan, "Apabila aku (Imam al-Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya ada catatan, dan dia diduga seorang yang lemah hafalannya, maka inilah yang dimaksudkan dengan ucapan beliau "Semoga Allah subhanahu wata’ala tidak menghisab saya sebagai orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain." Dan ini merupakan salah satu dari puncak sikap wara'. (Siyar A'lam an -Nubala' 12/439)

Beliau juga mengatakan, "Aku tidak menggunjing seseorang sama sekali semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu berbahaya bagi pelakunya." (Siyar a'lam an-Nubala' 12/441)

Para salaf apabila terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu Wahab pernah berkata, "Aku bernadzar apabila suatu ketika menggunjing seseorang maka aku akan berpuasa satu hari. Aku pun berusaha keras untuk menahan diri, tetapi suatu ketika aku menggunjing, maka aku pun berpuasa. Maka aku berniat apabila menggunjing seseorang, aku akan bersedekah dengan satu dirham dan karena sayang terhadap dirham, maka aku pun meninggalkan ghibah."

Berkata imam adz-Dzahabi, "Demikianlah kondisi para ulama, dan itu merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat." (Siyar: 9/228)

Bahkan seorang yang melakukan ghibah pada hakikatnya sedang memberikan kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing. Bahkan Abdur Rahman bin Mahdi berkata, "Andaikan aku tidak benci karena bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, maka tentu aku berharap tidak ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku menggunjingnya, yakni karena dengan itu seseorang akan mendapatkan kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak melakukan sesuatu." (Siyar: 9/195)

Maka para aktivis dakwah di masa ini yang melakukan ghibah atau membicarakan aib saudaranya sesama muslim dengan alasan untuk meluruskan kesalahan dan demi kebaikan, alangkah baiknya sebelum membicarakan orang lain merenung kan beberapa masalah berikut:

Pertama; Apakah yang dia lakukan itu adalah ikhlas dan merupakan nasihat untuk Allah subhanahu wata’ala, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin? Ataukah merupakan dorongan hawa nafsu baik tersembunyi atau terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad dan kebencian terhadap orang yang dia gunjing?

Memperjelas apa latar belakang yang mendorong untuk membicarakan orang lain sangatlah penting. Sebab berapa banyak orang yang terjerumus ke dalam ghibah dan menggunjing orang lain karena dorongan nafsu tercela sebagaimana tersebut di atas. Lalu dia menyangka bahwa yang mendorong dirinya untuk menggunjing adalah karena menyampaikan nasehat dan menginginkan kebaikan.

Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang sangat pelik, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, kecuali setelah merenung dan berpikir mendalam penuh rasa ikhlas dan murni karena Allah subhanahu wata’ala.

Ke dua; Harus dilihat dulu bentuk masalahnya ketika membicarakan aib seseorang, apakah merupakan hal-hal yang di situ memang dibolehkan untuk ghibah ataukah tidak?

Ke tiga; Renungkan berkali-kali sebelum mengeluarkan kata-kata untuk membicarakan orang lain; Apa jawaban yang saya sampaikan nanti di hadapan Allah subhanahu wata’ala pada hari Kiamat jika Dia bertanya, "Wahai hamba-Ku si Fulan, mengapa engkau membicarakan si Fulan dengan ini dan ini?”

Hendaknya selalu ingat bahwa Allah subhanahu wata’ala telah berfirman,
“Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)

Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata, "Kehormatan manusia merupakan salah satu jurang dari jurang jurang neraka yang para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila telah berhadapan dengannya. (Thabaqat asy Syafi'iyyah al Kubra 2/18). Wallahu a’lam.

Sumber: “Manhaj Ahlussunnah fi an-Naqdi wal Hukmi ‘alal Akharin, hal 17-20, Hisyam bin Ismail ash-Shiini.

Baca Selengkapnya......

Minggu, 13 Desember 2009

Seminar & Mabit 1 Muharam 1431 H

TEMA MONUMENTAL!

MEMBANGUN PERADABAN ISLAM DENGAN KONSEPSI "JAM SYARIAH"
(Jam yang Melahirkan Mindset dan Paradigma Baru yang Mencerahkan)

SEMINAR JAM SYARIAH

"Sebuah pembuktian! berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist ternyata Islam memiliki konsepsi jam sendiri yaitu jam Islam/ Jam Hijriah. Dan hasil pengkajian membuktikan bahwa konsepsi jam islam terbukti jauh lebih baik dibanding jam konvesional"

Menghadirkan Pembicara Pakar :

1. Prof. Dr. Achmad Satori Ismail (IKADI)
2. Dr. Adian Husaini (MUI)
3. Dr. Ahmad Syakur Hanza (Ulama Fiqh)
4. Dr. Moedji Raharto (Astronom ITB)
5. E. Darmawan Abdullah Skd. (Pengkaji)

Imam Qiyamullail

Ust. Abdul Aziz, Lc, Al-Hafizh

Waktu dan Tempat

KAMIS MALAM JUM'AT, 1 MUHARRAM 1431 H/ 17 DESEMBER 2009

(Shalat Magrib Berjamaah)

MASJID AT-TAQWA, jl. Pasar minggu raya-Pejaten Jaksel

Baca Selengkapnya......

Berdakwah Dengan Hati


Dakwatuna.com - “Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS.:3:159)

Saudaraku, Sejarah telah memaparkan pancaran pesona akhlaq Rasulullah dalam perjuangan dakwah beliau sebagai suri teladan bagi kita (QS.:33:21). Kemudian Allah SWT menguatkan dengan firman-Nya “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim. Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang mulia.”(QS.:68:4). Tentunya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Rumusan nyata dan gamblang tentang model manusia terbaik. Maka siapa yang ingin berhasil dalam mengemban tugas dakwah sebagaimana Rasul, hendaklah mengikuti jejak langkah Rasulullah dan menerapkan akhlaq Rasulullah dalam segenap aktivitas kehidupannya.

Dulu sering kita jumpai keluhan-keluhan dan kekecewaan terhadap penanganan dakwah di kalangan para mutarobbi –binaan atau murid ngaji atau anggota tarbiyah-. Fenomena berjatuhannya para aktivis dakwah, ditambah lagi dengan ketidaksukaan mereka terhadap pola dakwah ternyata – menurut mereka – disebabkan karena seringnya mereka menerima perlakuan yang tidak bijaksana.

Jawaban sederhana dari permasalahan di atas boleh jadi karena ketidak utuhan kita dalam meneladani Rasul atau bahkan mungkin karena kita belum mampu menanamkan akhlaq Rasul pada diri mereka. Akibatnya kita sering tidak sabar dan tidak bijaksana menyikapi mereka, sementara merekapun terlalu mudah tersinggung dan cengeng menyikapi teguran dan nasihat yang mereka anggap sebagai pengekang kebebasan. Komunikasi yang tidak sehat ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyadari sepenuh hati akan begitu pentingnya penanaman dan penerapan akhlaq Rasulullah dalam berbagai pendekatan dakwah. Ditinjau dari segi juru dakwah, keinginan meluruskan, teguran, penugasan, sindiran dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dengan akhlaq. Begitupun dari segi mad’u –peserta dakwah atau yang didakwahi- ; ketidakpuasan, ketersinggungan, perasaan terkekang dan kejenuhan juga dapat diredam dengan akhlaq. Akhlaq menuntun kepada kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling memaklumi kesalahan dan mengantarkan kepada penyelesaian terbaik.

Banyak murabbi –pembina atau yang mentarbiyah- yang dikecewakan dan ditinggalkan binaaanya, tapi dia mampu mengemas luka itu dengan empati dan terus mendoakan kebaikan bagi binaannya. Bahkan diiringi harapan suatu saat Allah swt. mengembalikan binaannya dalam aktvitas dakwah, walaupun mungkin bukan dalam penanganannya. “Mungkin dengan saya tidak cocok, tapi semoga dengan murabbi lain cocok”. Ada mutarabbi yang diperlakukan tidak bijaksana oleh murabbinya namun akhlaq menuntunnya untuk mengerti dan menyadari bahwa murabbinya bukan nabi, sehingga dia tidak dendam dan menjelek-jelekkan murabbinya, melainkan tetap merasa bahwa murabbi dengan segala kekurangannya telah berjasa banyak padanya. Dia tidak membenci dakwah meskipun dia dikecewakan oleh seorang aktivis dakwah.

Di antara nilai-nilai akhlaq yang semuanya mesti kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah dua nilai yang cukup relevan dengan kelancaran dakwah, yaitu kelembutan dan rendah hati.

Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan maupun badan. Bukanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan.

Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan sadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, mendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.

Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan atau mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur atau menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui atau dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah swt. berfirman dalam surah Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.”

Bila Rasulullah saw. saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi, rendah hati terhadap mutarabbi dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan pada kebenaran Al-Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Al-Qur’an dan Hadist.

Saudaraku, Marilah kita lebih mengaplikasikan apa-apa yang sudah kita ketahui. Betapa pemahaman kita tentang pentingnya akhlak dalam mengantarkan pada kesuksesan dakwah mungkin sudah cukup mumpuni. Namun tinggal bagaimana kita terus meningkatkan penerapan nilai-nilai akhlaq itu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam mengemban tugas dakwah. Telah dan akan terus terbukti bahwa sambutan masyarakat terhadap dakwah adalah di antaranya karena pesona akhlaq kita, kelembutan kita, memaklumi, mengingatkan dan meluruskan mereka dan kerendahhatian kita untuk terus bersabar mendekati dan menemani hari-hari mereka dengan dakwah kita. Dalam konteks khusus pun demikian, betapa kelembutan dan kerendahhatian ternyata lebih melanggengkan atau mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.

Saudaraku, Hendaknya dari hari ke hari kita terus mengevaluasi diri, membenahi akhlaq kita dan memantaskan diri (sepantas-pantasnya) sebagai seorang juru dakwah. Memang kita manusia biasa yang penuh salah dan kekurangan, namun janganlah itu menjadi penghalang kita untuk bermujahadah diri menuju kepada kedewasaan sejati. Masa lalu yang kasar dan angkuh hendaklah segera pupus dari diri kita. Kita mulai membiasakan diri untuk lembut di tengah keluarga, di antara aktivis dakwah hingga ke masyarakat luas. Kita mesti melatih kerendahhatian di tengah murid-murid kita, dengan sesama aktivis, pada murabbi kita hingga ke seluruh masyarakat. Dan pada akhirnya nanti insya Allah kita dapatkan keberhasilan dakwah Rasulullah terulang kembali, lewat hati, ucapan dan perbuatan kita yang telah diwarnai nilai-nilai akhlaq.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS 16:125). Allahu a’lam

Baca Selengkapnya......

Rabu, 08 Juli 2009

52. Asal-Asalan Memilih Teman Baik

Banyakan diantara kita nggak peduli milih teman. Asal ada aja teman mainnya. Nggak peduli baik atau buruk. Padahal teman sangat mempengaruhi sifat-sifat dan karakter kita. Agama kita juga sangat dipengaruhi oleh teman. Udah sadar pa belum, kalo teman kita baik kita juga jadi baik nantinya. Coba kalo teman kita pemabuk sangat besar kemungkinan kita juga ikut-ikutan mabuk. Makanya kalo memilih teman diusahakan jangan dilakukan dengan asal-asalan.
Eh, teman, kalo kamu tanyakan sifat seseorang maka lihatlah temannya. Artinya siapa temannya, kalo temannya baik berarti dia juga baik (InsyaAllah). Nah, ada yang lebih penting yaitu kalo kalian pengen ngelamar gadis maka lihatlah siapa teman gaulnya. Selanjutnya kamu tanyakan dia pada teman dekatnya. Tapi kalo udah jahat teman dekatnya nggak usah ngelamar. Jangan-jangan dia juga orangnya nggak baik (Astghfirullah). Pokoknya udah tersangka deh. Jadi kesimpulannya, sifat teman gaul akan menular kepada kita. Coba aja liat haditsnya ini:
“Bahwasanya permisalan teman duduk yang baik dan yang buruk seperti penjual minyak wangi dan tukang besi. Penjual minyak wangi bisa memberimu atau kamu membeli darinya atau kamu turut mendapatkan bau wanginya sedang tukang besi bisa membakar bajumu atau kamu ikut mendapatkan bau tak sedap.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa bergaul dengan orang-orang shaleh dan berakhlak mulia memiliki pengaruh pada kebaikan seseorang dan setiap teman akan mencontohi teman gaulnya. Sebaliknya bergaul dengan orang-orang hina dan jahat menjerumuskan pada kecelakaan manusia. Rasulullah memberikan dua permisalan yang gamblang untuk menjelaskan hal itu.
“Seseorang tergantung dari agama (kebiasaan) temannya maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang ia jadikan teman karib.” (HR. al-Tirmidzi)
Lebih parah lagi kali teman gaul non-muslim (Jadi teman akrab, mungkin itu maksudnya). Bisa aja kamu ditarik ke geraja (misionaris jelek!) atau kuil atau sinagog (Jews munafik!) dll. Soalnya da’wah mereka itu lebih kuat karena udah kerjasama dengan syaitan (mungkin maksudnya, mereka lebih mengedapankan logika, mengumbar hawa nafsu untuk menggoyang iman kita). Coba siapa yang kalian pilih diantara teman berikut ini: Ibrahim apa Abraham, Maryam apa Maria, Abu atau Obet, dll. Itu cuman misal.
“Janganlah engkau bersahabat kecuali orang beriman.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Singkatnya, kita harus milih teman yang baik, yang ngerti agama, yang pintar and cakap, de es te. Kalo nggak gitu pasti deh kita-kita nyesel banget di akhirat.
“Dan (Ingatlah) hari (Ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (menyesal berat), seraya berkata: ‘ Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul’.” (Qs: al-Furqan: 27)
Artikel Abu Syahidah dalam buku “Kamu Hobi tapi Agama Melarang” dengan sedikit perubahan

Baca Selengkapnya......

44. Tidak Beradab Ketika Masuk WC

Saudaraku seiman, WC tempatnya kotoran. Disana juga tinggal syetan dan jin. Banyakan orang kecelakaan di WC langsung bisa mati. Jadi kita harus hati-hati, kalo jatuh di WC bisa-bisa langsung dikubur (Innalillahi..). Banyakan juga orang menghayal di WC. Makanya kita harus perhatikan betul adab-adab masuk WC biar syaitannya lumpuh.

Gimana adab-adab yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kalo masuk WC? Ikuti berikut ini:
a. Disunahkan berdoa sebelum melangkah masuk WC. Ini doanya:
“Allahumma inni a’udzubikka minal khubutsi wal khabaits.” (Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan) .” (HR. Bukhari)
b. Disunahkan mendahulukan kaki kiri ketika masuk WC atau kamar mandi dan kaki kanan ketika keluar.
c. Disunahkan ketika keluar dari tempat buang hajat ata WC berdoa: Gufranaka (Aku mohon ampunan-Mu)
“Dari ‘Aisyah ra. bahwasanya Nabi apabila keluar dari kamar kecil berdoa: Gufranaka.” (HR. Turmudzi)
d. Jangan berdzikir dalam WC atau kamar mandi kecuali dzikir dalam hati saja.
Artikel Abu Syahidah dalam buku “Kamu Hobi tapi Agama Melarang” dengan sedikit perubahan.

Baca Selengkapnya......

38. BERSUMPAH DENGAN NAMA SELAIN ALLAH

Masalah ini juga sangat berbahaya sebab termasuk juga syirik. Makanya jangan asal bersumpah. Pokoknya deh, sumpah itu hanya untuk atas nama Allah SWT, jadi kita hanya boleh bilang : Demi Allah. Kalau dibahasa Arabkan menjadi : Lillahi, Wallahi, atau Tallahi. Kalau bersumpah dengan kata selain itu maka syirik (Astaghfirullah). Kalo nggak yakin gue nunjukin dalil mengenai hal tersebut, Ok!
“Siapa yang bersumpah atas nama selain Allah maka ia telah syirik.” (HR. Ahmad)
Adakah sumpah muda-mudi yang menyebut selain dari nama Allah? Jawabannya, bbuanyaaaak sekali. Misalnya:
a. Demi langit dan bumi, aku bersumpah……………
b. Demi bangsa dan Negara……….
c. Demi amanah
d. Demi engkau yang kucintai………….
e. De el eL
Artikel Abu Syahidah dalam buku “Kamu Hobi tapi Agama Melarang” dengan sedikit perubahan.

Baca Selengkapnya......

Selasa, 07 Juli 2009

Selalu Ada Solusi

Oleh: Ibnu Jarir, Lc

Kuda Kemenangandakwatuna.com -Segala puji hanya bagi-Mu ya Allah, Engkau Maha memberi kemenangan bagi siapa saja hamba-Mu yang berjihad dijalan-Mu dan berkorban demi tegaknya kalimat-Mu dengan penuh kesabaran. Ya Allah…Ya Naashiru…tsabat kan kami dalam mengemban amanah Mu, ampuni kelemahan kami dan sikap kami yang melampaui batas…

Saudaraku…

“Huffatil jannatu bilmakarih wahuffatinnaaru bissyahawat…” surga dikitari oleh sesuatu yang tidak disukai oleh nafsu, sebaliknya neraka dihiasi dengan hal-hal yang memanjakan syahwat. Maka hanya hamba-hamba yang sadar surga saja yang mampu mengemban beban perjuangan dan pengorbanan untuk dakwah.

Saudaraku…

Setiap kita hendaknya bertanya pada diri ini, akan kejujuran perjuangan dan pengorbanan kita. Benarkah kita telah berjuang? Berjuang untuk apa dan siapa? Bersabarlah kita dalam perjuangan untuk tetap dalam manhaj-Nya? Untuk tidak tergoda oleh dunia? Atau terbujuk rayuan wanita? Atau terlena dengan tahta?

Saudaraku…

Sudahkah kita berkorban untuk taat? Berkorban untuk tegaknya nilai-nilai Dienullah? Berkorban untuk menghentikan atau meminimalisir kezhaliman? Berkorban untuk membantu saudara-saudara kita yang tertindas? Berkorban dalam dakwah di jalan-Nya? Berkorban untuk menyelamatkan moralitas anak-anak negeri ini? Berkorban…dan berkorban?

Saudaraku…

Betapa terngiangnya genderang kalimat Allah Swt di relung hati kita yang paling dalam, kita yang sadar, kita yang sensitif akan kebahagiaan, kita yang senantiasa merindukan surga, kita yang berharap untuk berjumpa dengan-Nya, kita yang merindukan untuk menatap wajah-Nya,”Am hasibtum ‘an tadkhulul jannah ?”… apakah kita mengira akan mendapat surga dengan begitu mudah?

Saudaraku…

Setelah kita cermati perjuangan dan pengorbanan kita dijalan Allah untuk tegaknya dakwah ini, kita menjadi tahu…, sadar…dan insaf…Ya Allah sesungguhnya kami belum berbuat apa-apa untuk Islam, kecuali sedikiiit..,ya Allah …janganlah Engkau hinakan kami…jangan Engkau azab kami, Ya Allah…ampuni kami…rahmati kami, karuniakan kekuatan kepada hamba-hamba-Mu ini ya Qowiyyu…, agar kami mampu bangkit memperbaiki kelemahan kami … untuk meraih kemenangan dari sisi-Mu…

Saudaraku…

Ingatkah kita akan perjuangan dan pengorbanan pemimpin kita yang agung: Muhammad Saw.? kala tekanan dan permusuhan mendera dirinya untuk sebuah risalah besar dakwah yang di emban nya, hampir-hampir tak sejengkal bumi Mekah yang bisa dipijaknya, sepulang dari Thaif tiba-tiba sebuah pertanyaan dari Zaid bin Haritsah ra. terlontar; “Ya Rasulullah kaifa ta’uudu ila makkah waqod akhrojuuka? ( ya Rasulullah bagaimana engkau akan kembali ke Mekah sedang mereka telah mengusirmu? ) Jawab Rasulullah saw. dengan pemberian harapan besar pada kita dan umat yang besar ini: “Ya Zaid Innallaha jaa’ilun limaa taroo farojan wamakhroja…” (wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan menjadikan apa yang saat ini anda lihat, jalan keluar dan solusi…).

Saudaraku…

Semoga kemenangan itu dekat. Semoga kita adalah orang-orang yang terpilih untuk menjadi pelaksana kemenangan dakwah ini. Ya Allah ampunilah kelalaian kami, jadikanlah kami orang-orang yang siap berkorban apa saja untuk dakwah ini… amin.

Baca Selengkapnya......

Jumat, 03 Juli 2009

Mengungkapkan Cinta Buat si Kecil

Mengungkapkan Cinta Buat si Kecil
Sebagai orangtua, tentu secara alami kita ingin menyayangi anak kita. Tapi bagaimana cara mengungkapkan kasih sayang kita kepada anak kita yang masih bayi. Seorang bayi mungkin tidak mengerti dengan apa yang kita katakan, tapi bukan berarti dia tidak mengerti. Dengan cara berikut, bayi Anda akan merasakan cinta Anda: :)

  • Sentuhlah kulit bayi Anda. Sentuhan dan pijatan lembut dapat mempererat hubungan orangtua dan bayi dan dapat membuat bayi merasakan ketenangan.
  • Peluklah bayi Anda sesering mungkin. Pelukan dapat memacu dihasilkannya hormon pertumbuhan dan membuatnya bahagia, tenang dan percaya diri.
  • Sentuhan langsung, misalnya saat berada di kamar atau ruangan tertutup, Anda dapat mendekapnya dengan pelukan langsung (bertelanjang dada). Sentuhan seperti ini dapat menormalkan suhu bayi dan membantu jantungnya berdetak dengan teratur.
  • Mandikan bayi dengan kasih sayang. Mandi merupakan saat bermain bagi bayi dan kegiatan ini dapat merangsang indra peraba bayi.
  • Ajak bicara bayi Anda dengan suara lembut. Anda juga bisa membacakan dongeng saat dia ingin tidur. Suara Anda membantunya untuk lebih mengenal Anda dan membantu membuatnya tidur lelap.
  • Perdengarkan Al Quran dapat merangsang tingkat inteligensia (IQ) anak, yakni ketika bacaan ayat-ayat Kitab Suci itu diperdengarkan dekat mereka. sekaligus menimbulkan rasa cinta kepada Tuhan Maha Pencipta. Jadi, bila bacaan Al Quran diperdengarkan kepada bayi, akan merupakan bekal bagi masa depannya sebagai Muslim, dunia maupun akhirat.

Seperti diketahui, dalam musik terkandung komposisi not balok secara kompleks dan harmonis, yang secara psikologis merupakan jembatan otak kiri dan otak kanan, yang outputnya berupa peningkatan daya tangkap/konsentrasi. Ternyata Al Quran pun demikian, malah lebih baik. Ketika diperdengarkan dengan tepat dan benar, dalam artian sesuai tajwid dan makhraj, Al Quran mampu merangsang syaraf-syaraf otak pada anak

  • Menyanyi untuk bayi Anda. Menyanyi dapat membuatnya merasa gembira. Anda juga dapat bernyanyi sambil bertepuk tangan atau mengajari bayi Anda bertepuk tangan sehingga suasana menjadi lebih bergembira.
  • Tiup perut bayi Anda atau gelitik kakinya. Dengan melakukan ini, Anda akan merasa senang melihat senyum dan mendengar suara tawanya. Kegiatan ini membuat zat endhorpin mengalir deras dan menjadikan anak Anda merasa berharga dan bahagia.
  • Berikan kecupan mesra setiap hari. Hal ini dapat terus dilakukan sampai anak Anda dewasa. Ciuman dapat membuat anak Anda merasa disayangi sehingga membuatnya kuat dan percaya diri.

Baca Selengkapnya......

Kamis, 02 Juli 2009

Hati-hati dengan Pujian
Hati-hati dengan Pujian
Setiap manusia mengharapkan apa yang diinginkannya tercapai. Ada yang berharap lulus ujian sekolah, menjadi pejabat, memiliki handphone bagus atau pakaian serba mewah, dan berbagai harapan yang menjadikannya dihormati orang lain. Ada pula yang beribadah dan melakukan kedermawanan sosial dengan bergelimang sorotan media massa atau perhatian dari orang-orang disekitarnya.

Apakah semua itu perlu dan untuk siapa? Apakah karena Allah atau karena ingin pujian manusia?

Saudaraku, luangkanlah waktu sejenak saja untuk bertafakur. Koreksi kembali setiap aktivitas atau amal ibadah yang dilakukan. Apakah karena Allah atau untuk mencari pujian manusia semata. Karena tidak sedikit orang yang melakukan segala cara untuk memperoleh harta dan jabatan ataupun ketika beribadah, hanya untuk pujian makhluk. Padahal amal ibadah kita bisa hancur lebur seandainya kita merasa senang dengan pujian itu.

Hati-hatilah dengan pujian, sekiranya ada yang memuji maka kembalikanlah segera kepada Allah dan beristigfar. Insya Allah dengan demikian kita terhindar dari penyakit uzub (merasa diri lebih dari yang lain).

Pujian berlebihan juga bisa menjadikan amal tidak lagi karena Allah. Yang akhirnya menimbulkan riya’ (pamer atau ingin dilihat amalnya) dan sum’ah (ingin popularitas). Misalnya, seseorang shalat hanya ingin dipuji oleh temannya, bersedekah hanya karena ingin disebut sebagai orang yang dermawan, membaca al-Quran dengan suara yang lantang agar disanjung orang lain.

Riya’ jika mencampuri amal, akan membatalkan amalan itu. Selanjutnya menjadikan ia terhijab dari cahaya Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya, "...... Maka barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia mengamalkan amal yang shalih dan jangan menyekutukan Rabbnya dengan seseorang dalam beribadah." (QS al-Kahfi [18]: 110).

Cukuplah Allah tempat kita berharap, karena dialah yang menentukan segala-galanya. Tidak layak kita merasa bangga dengan amal yang diperbuat, karena segala amal itu mutlak karena kekuasaan Allah dan rahmatnya. Taubat dan syukur harus terus diperbanyak atas amal yang telah diperbuat agar terhindar dari sifat riya’.

Semoga kita termasuk orang yang berhati-hati dalam menerima pujian. Tidak mencari pujian dalam setiap amal ibadah yang dilakukan dan menjaga setiap aktivitas agar senantiasa bersih dari riya’ dan sum`ah. Wallahu a`lam bisshawab.

Baca Selengkapnya......

Energi dan Realisasi Mimpi

Beberapa tahu lalu, seorang sahabat mengingatkan saya mengenai pentingnya energi untuk meraih visi. “Impian-impian besar memerlukan energi besar”, begitu sahabat saya mengatakan. Banyak orang berhenti ditengah jalan hanya karena kehilangan daya tahan ditengah banyaknya rintangan. Karena memang impian besar akan selalu ditemani oleh besarnya tantangan.

Banyak pasangan berantakan sebelum selesai mewujudkan rumah bahagia yang diimpikan, karena masing-masing kehabisan energy kesabaran. Banyak organisasi dilanda perpecahan sebelum visi mampu direalisasikan, karena organisasi kehabisan energy untuk menghadapi friksi dan mengelola dinamika yang terjadi. Tidak sedikit manusia terdampar dirumah sakit jiwa, sebelum tuntas meraih cita hidupnya, karena tidak lagi memiliki energi untuk menahan derita dan segala kemalangan yang menimpa.

Energi yang cukup sungguh harus kita miliki untuk bisa mewujudkan segala mimpi. Bagi yang belajar Fisika, tentu sangat familiar dengan formula energi yang dirumuskan Einstein. Energi menurutnya adalah fungsi dari massa (bobot) dikalikan kuadrat dari kecepatannya (E=MC2). Jadi kalau kita ingin meningkatkan energi, menurut teori ini, kita bisa melakukannya dengan meningkatkan bobot, kecepatan atau kedua-duanya.

Bobot manusia tidak terletak pada besar kecilnya fisik yang dimiliki, melainkan pada seberapa beriman dan berilmu dia. Alquran mengatakan bahwa Allah meninggikan orang beriman dan berilmu beberapa derajat (QS. Mujadalah:11). Mengenai kecepatan, hal ini terletak dari kesegeraan manusia dalam melakukan berbagai kebaikan.

Allah mengatakan “Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain,”(QS. Al Insyirah:7).

Allah tidak mengatakan “setelah selesai suatu urusan maka beristirahatlah atau berpestalah”, justru kita diminta bersegera menyelesaikan urusan lain, meminjam istilah salah satu capres “lebih cepat, lebih baik”.

Jika kita implementasikan formula Einstein, maka Energi adalah fungsi dari Keimanan, Keilmuan dan Kesegeraan. Semakin tinggi keimanan, keilmuan dan kesegeraan akan semakin besar energi yang ditimbulkan. Sehingga kita dapat mengatakan kombinasi variabel keimanan, keilmuan dan kesegeraan dalam melaksanakan berbagai agenda merupakan sumber energi bagi manusia yang ingin meraih cita-cita. Semakin besar impian yang ingin diwujudkan, maka semakin besar varibel-variabel ini harus ditingkatkan.

Alquran dalam surat Al Baqarah 246-251 menceritakan kisah menarik yang menjelaskan betapa energi manusia ternyata tidak tergantung pada banyaknya logistik yang dikonsumsi, melainkan seberapa tinggi keyakinan dan ketaatannya pada perintah Allah. Kisah ini dimulai saat Musa telah meninggal dan Bani Israil menjadi bangsa yang lemah lagi terancam.

Sebelum kemunculan Nabi Daud ada kekosongan kenabian selama beberapa ratus tahun. Saat itu hanya ada beberapa Nabi lokal diantaranya bernama Syamwil. Bani Israil meminta Syamwil menunjuk seorang pemimpin guna menghadapi Jalut yang berusaha memperluas daerah jajahannya. Kemudian diberitahu bahwa Allah SWT telah mengutus Thalut sebagai pemimpin. Bani Israil menolak karena Thalut dianggap orang miskin. Namun Syamwil mengatakan Thalut mempunyai kelebihan Ilmu dan fisik, akhirnya mereka menerima Thalut sebagai pemimpin.

Setelah diangkat sebagai pemimpin Thalut melakukan perjalanan bersama pasukannya menuju Jalut. Thalut, yang mengetahui dari ilmunya, menyampaikan bahwa mereka akan menemui sungai, dan Tuhan akan menguji mereka dengan sungai tersebut. Setelah perjalanan jauh yang melelahkan, tibalah mereka di sungai yang membatasi tentara Thalut dan Jalut. Thalut berkata bahwa mereka yang akan berperang tidak boleh minum air sungai itu, kalau pun minum hanya boleh satu cakupan tangan.

Mendengar perintah Thalut, terpisahlah tentara Thalut menjadi dua golongan. Mereka yang taat dan tidak minum atau hanya minum seteguk, dan mereka yang cuek dan minum sepuasnya. Mereka berfikir sungguh tak masuk akal tentara yang kelelahan setelah berjalan jauh malah tidak boleh minum padahal sebentar lagi akan berperang dengan musuh yang menakutkan.

Ternyata apa yang terjadi?

Setelah minum, golongan yang ingkar dan minum sepuasnya, tiba-tiba diliputi kecemasan dan ketakutan, gentar hati mereka dan bergetarlah lutut mereka. Sementara golongan yang taat dan beriman terhadap apa yang disampaikan Thalut ternyata bersemangat dan memiliki kekuatan menghadapi musuh. Mereka yang telah minum banyak berkata,“Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Sementara mereka yang taat menjawab, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Thalut dan pasukannya yang beriman lalu menyeberangi sungai untuk menyambut tentara Jalut. Pertempuran dengan jumlah tentara yang tidak seimbang itu akhirnya dimenangkan pasukan kecil Thalut, dimana Daud yang masih belia berhasil membunuh Jalut yang perkasa.

Kisah Thalut meyakinkan kita bahwa ternyata energi tidak tergantung pada banyaknya logistik, melainkan justru pada seberapa dekat kita dengan Allah, seberapa berilmu kita, dan seberapa cepat kita dalam melaksanakan perintahNya. AlQuran menceritakan dengan jelas bagaimana pasukan Thalut yang minum lebih sedikit dan Daud yang masih belia mampu mengalahkan Jalut yang sangat perkasa.

Kepatuhan Thalut dan Daud pada semua perintah Allah, kesabaran mereka mengendalikan diri dari godaan materi, memberikan mereka energi yang tak tertandingi. Dengan energi yang mereka miliki, mereka tidak hanya mampu meraih impian mereka, melainkan juga menuntaskan impian bangsanya untuk memenangkan pertarungan dan melindungi bangsanya dari penjajahan Jhalut. Semoga kita mampu melipatgandakan energi yang kita miliki dengan kombinasi ilmu, iman dan kesegeraan, sehingga kita mampu meraih semua impian besar kita. Amin. (Mukhamad Najib, Mahasiswa S3 Universitas Tokyo)

Baca Selengkapnya......

Allah-made Versus Man-made Way Of Life

Eramuslim.com

Ketika Rub’iy bin Amer radhiyallahu ’anhu bernegosiasi dengan Panglima Angkatan Bersenjata Persia bernama Rustum, beliau menyampaikan tiga pesan yang menjadi ucapan legendaris dalam sejarah Islam. Point ketiga dari pesan beliau berbunyi sebagai berikut:

إن الله ابتعثنا لنخرج العباد من جور الأديان إلى عدل الإسلام

”Sesungguhnya Allah mengutus kami (ummat Islam) untuk mengeluarkan hamba-hamba Allah (ummat manusia) dari kezaliman berbagai dien menuju keadilan Al-Islam.”

Kata dien seringkali diterjemahkan dengan istilah agama. Padahal dien merupakan suatu istilah yang bermakna jauh lebih luas daripada sekadar agama. Sebab agama pada galibnya diasosiasikan dengan agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha dan lain sebagainya yang semuanya hanya terbatas pada sistem religi atau sistem keyakinan. Sedangkan kata dien berarti sistem hidup atau way of life dimana sistem religi hanya merupakan salah satu bagian daripadanya. Contoh way of life ialah Komunisme, Kapitalisme, Liberalisme, Sosialisme, Nasionalisme, Demokrasi, Theokrasi dan tentu saja Islam termasuk di dalamnya.

Perbedaannya ialah bahwa berbagai dien selain Al-Islam merupakan dien buatan manusia atau man-made way of lives. Sementara Islam merupakan satu-satunya dien ciptaan Allah sehingga ia disebut Dienullah (Allah-made way of life). Seluruh dien buatan manusia atau man-made way of lives pasti mengandung ketidaksempurnaan. Sebab ia dibuat oleh manusia yang tidak luput dari khilaf dan kesalahan. Sedangkan Islam merupakan dien yang sempurna karena diciptakan oleh Allah Yang Maha Sempurna. Segenap dien buatan manusia sedikit banyak pasti mengandung kezaliman, sedangkan dienullah Al-Islam merupakan satu-satunya dien yang akan mengantarkan manusia ke dalam hidup penuh keadilan.

Mengapa segenap dien selain Islam pasti melahirkan kezaliman? Karena segenap dien tersebut dibuat oleh manusia yang Allah sendiri gambarkan sebagai makhluk yang zalim lagi bodoh. Manusia dikatakan zalim dan bodoh karena bersedia menerima amanah berat yang sebelumnya telah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung namun mereka semua enggan memikul amanah berat tersebut. Lalu manusia menerimanya. Maka Allah sebut manusia sebagai makhluk yang zalim lagi bodoh.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ

أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab ayat 72)

Allah menyebut manusia zalim dan amat bodoh karena saat manusia menerima amanah tersebut ia seolah mengabaikan rasa ”khawatir akan mengkhianatinya”. Padahal makhluk-makhluk besar lainnya yang ukurannya jauh lebih besar daripada manusia menolak memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Manusia terlalu percaya diri bahwa ia akan berlaku jujur dan amanah dalam memikulnya. Dan pada kenyataannya memang ternyata kebanyakan manusia di dalam memikul amanah yang Allah berikan kepadanya berlaku khianat.

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu,” Yang dimaksud dengan amanat ialah ketaatan.” Allah menawarkan ketaatan kepada langit, bumi dan gunung-gunung sebelum Dia menawarkannya kepada Adam. Namun ketiganya tidak sanggup. Lalu Allah berfirman kepada Adam, ”Sesungguhnya aku telah menwarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya tidak sanggup. Apakah kamu sanggup memegang teguh perkara yang ada di balik amanat tersebut?” Adam berkata, ”Ya Rabbku, apakah yang ada di baliknya?” Allah berfirman, ”Jika kamu berbuat baik maka mendapat imbalan dan jika berbuat buruk maka mendapat hukuman.” Kemudian Adam mengambilnya, lalu memikulnya. Maka Adam lalu terpedaya oleh perintah-perintah Allah. Sehingga belum berlalu waktu yang terlalu panjang Adam sudah mengkhianati amanat tersebut dengan melakukan dosa kemaksiatan atau kedurhakaan kepada Allah Sang Pemberi amanat.

Ketaatan yang Allah kehendaki dari manusia bukanlah ketaatan dalam urusan kehidupan pribadi semata. Namun ketaatan itu harus mencakup ketaatan dalam mengelola urusan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan mengikuti sistem hidup buatan Allah (Dienullah). Bila manusia menata kehidupan pribadi dan sosialnya berdasarkan Allah-made way of life (Dienullah), maka mereka semua akan memperoleh imbalan yang baik dari Allah di dunia maupun di akhirat kelak nanti. Dan itu sekaligus mencerminkan terwujudnya masyarakat yang bersikap jujur dan amanah dalam memikul amanat yang datang dari Allah.

Namun dalam kenyataannya banyak masyarakat yang dalam menata kehidupan pribadi serta sosialnya lebih memilih untuk menjadikan man-made way of lives (dien buatan manusia) sebagai sistem hidupnya. Dengan demikian mereka bakal memperoleh hukuman Allah di dunia serta di akhirat, cepat ataupun lambat. Dan ini sekaligus mencerminkan terwujudnya masyarakat yang bersikap zalim lagi amat bodoh dalam memikul amanat yang telah diterimanya dari Allah. Masyarakat yang lebih suka menjadikan man-made way of lives (dien buatan manusia) sebagai sistem hidupnya dan dengan sengaja meninggalkan Allah-made way of life (dienullah), maka kezaliman akan tumbuh dengan subur di dalamnya. Dan masyarakat seperti itu layak disebut sebagai masyarakat Jahiliyah (masyarakat yang penuh kebodohan). Kebodohan yang dimaksud adalah al-jahlu ’anil-haq (kebodohan akan hakikat kebenaran).

Semenjak dibubarkannya sistem Islam yang disebut Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, maka dunia belum menyaksikan wujudnya masyarakat yang menjadikan dienullah semata sebagai sistem hidupnya. Segenap masyarakat dunia dewasa ini menata kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya berdasarkan aneka sistem hidup buatan manusia. Tidak satupun yang menjadikan dienullah sebagai sistem hidupnya. Termasuk negeri-negeri yang mengaku dirinya sebagai negara Islam, maka pada hakikatnya mereka belum menjalankan sistem hidup dienullah. Sebab mereka masih ter-shibghoh (diwarnai) oleh faham qaumiyyah (Nasionalisme). Nasionalisme menganut sistem dimana sebuah negara dibangun berdasarkan kesamaan bangsa sebagai pengikat utama anggota masyarakatnya. Adapun sistem Islam menampung dan mengayomi segenap manusia dari aneka warna kulit, ras, suku dan bangsa. Berbagai negara yang ada dewasa ini sangat membatasi populasinya berdasarkan konsep kebangsaan. Ikatan utama dalam sebuah masyarakat dan negara Islam ialah aqidah Laa ilaaha illa Allah wa Muhammadur Rasulullah. Apapun warna kulit, suku maupun bangsa seseorang selagi ia ber-syahadatain, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga sistem dienullah tersebut.

Sudah tiba masanya bagi ummat Islam untuk meninggalkan segenap dien buatan manusia dan menegakkan sistem hidup berlandaskan dienullah. Namun ada prasyarat fundamental yang perlu dipenuhi terlebih dahulu. Haruslah wujud sekumpulan ummat yang memiliki aqidah Islamiyyah secara kokoh dan meyakini sepenuhnya bahwa urusan sistem hidup merupakan urusan yang sangat penting. Bila ummat Islam masih menaruh harapan pada berbagai man-made way of lives, maka sistem Islam tidak akan pernah kunjung tegak. Hanya dan hanya jika ummat Islam telah benar-benar meyakini bahwa Islam-lah satu-satunya way of life yang pasti menghantarkan terwujudnya masyarakat penuh keadilan, maka sistem Islam akan tegak.

Alangkah ironis-nya bila setiap wirid pagi dan petang seorang muslim membaca:

رضيت بالله ربا و بالإسلام دينا و بمحمد نبا و رسولا

“Aku ridha Allah sebagai Rabb, dan Islam sebagai dien (sistem hidup) dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.”

Ia membacanya setiap pagi dan petang, namun dalam realitanya ia menunjukkan sikap ridha terhadap berlakunya sistem hidup buatan manusia sebagai way of life. Ia tidak memiliki kegelisahan dan kecemburuan terhadap kenyataan bahwa manusia di sekitarnya masih rela hidup dengan dien-dien selain dienullah. Padahal inilah makna ucapan legendaris Rub’iy bin Amer:

إن الله ابتعثنا لنخرج العباد من جور الأديان إلى عدل الإسلام

”Sesungguhnya Allah mengutus kami (ummat Islam) untuk mengeluarkan hamba-hamba Allah (ummat manusia) dari kezaliman berbagai dien menuju keadilan Al-Islam.”

Baca Selengkapnya......

Selasa, 30 Juni 2009

Wasiat Dahsyat Penolak Kefakiran

Islam itu sangat solutif, berbahagialah bila engkau seorang muslim, apalagi seorang muslim itu adalah enterpreuner (red. Pengusaha), kalaulah dia yakin akan jalannya, untuk berjihad di dunia melalui bisnis, tentulah dia memiliki dua ujung mata pedang dalam langkah perjuangannya, yaitu pertama : Ikhtiar yang sungguh sungguh dalam menjemput rezeki, dan kedua : Kekuatan amalan ibadah dan doa.

Kedua mata pedang tersebut saling menguatkan, kedua mata pedang tersebut menambah kekuatan keyakinan hamba atas kekuasaan Yang Maha Kuasa. Logika bisnis dan usaha kadang-kala menjadi terbalik, bahkan hasil yang di raih pun seringkali ilmu matematika ataupun indikator ekonomi tak mampu menjangkau.

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 35:2)

“Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang di kehendaki Nya di antara hamba-hambaNYA dan menyempitkan bagi (siapa yang di kehendakiNya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi Rezeki yang sebaik baiknya” (QS 34:39)

Pada saat krisis tiba, niscaya mereka para pribadi muslim haruslah merasa yakin dan tetap tenang. Mereka tidak gundah atas berita yang beredar di media masa, mereka tidak turut serta menggaungkan senandung yang sama dengan kaum yang lain , mereka punya sikap yang unik dan berbeda dengan kaum yang lain, alasannya karena mereka punya keyakinan yaitu mereka memiliki ALLAH, PEMILIK SEGALA KEPUTUSAN, PEMBERI REZEKI.

Seringkali ummat islam terlupakan adanya kekuatan ujung mata pedang yang kedua ini yaitu kekuatan amalan ibadah dan doa , sebahagian ummat islam sekarang cenderung mengikuti pola manajemen barat yang serba ‘sebab akibat’ secara rasional, yang tentunya paham barat tersebut telah nyata melupakan faktor Tuhan sebagai Penentu. Walaupun sebagian mereka berhasil dalam usahanya, maka hasil kerja yang di dapat paling tidak hanya memperbanyak digit nilai materi saja, dan hampa dalam nilai keimanan serta berpeluang hilang keberkahannya, ketahuilah bila niat dan hasilnya dasarnya sudah menyimpang , hasil itu semua kelak akan nihil di hadapan Allah.

Rugi sekali bagi seorang muslim, apalagi kalangan pengusaha muslim khususnya, bila meninggalkan kekuatan yang satu ini, mereka punya Allah, mereka punya peluang doanya terkabul, mereka memiliki kesempatan yang lebih baik di banding orang kafir, kenapa kita harus tunduk kepada yang lainnya, bahkan melemahkan diri?

Banyak sekali hadist Nabi maupun kisah sahabatnya yang memberikan gambaran bagaimana seorang muslim berdoa, kesemuanya merupakan karuniaNYA agar ummat islam khususnya para pengusahanya agar memiliki pegangan dan panduan dalam melangkah di kehidupan dunia ini, menjadi pengelana yang tak akan tersesat di antara ujian kehidupan berupa kelapangan maupun kesempitan.

…………

Adalah Abdullah bin Mas’ud , salah seorang sahabat dekat Rasul SAW. Di masa Khalifah Usman bin Affan, dia menderita sakit dan terbaring di atas tempat tidurnya, Khalifah usman menjenguknya dan menyaksikan Abdullah bin Mas’ud dalam keadaan sedih.

Usman : “Apa yang membuatmu sedih?”

Abdullah : “Dosa dosaku”

Usman : “Apa yang engkau inginkan dariku, aku akan penuhi?”

Abdullah : “Saya merindukan rahmat Allah”

Usman : “Jika engkau setuju, aku akan memanggilkan tabib”

Abdullah : “Tabib hanya membuatku sakit”

Usman : “Jika engkau tak keberatan, aku akan perintahkan bendaharaku untuk memberimu harta dari baitul mal”

Abdullah : “Ketika aku amat membutuhkannya, engkau tak memberiku sesuatu, dan sekarang tatkala aku sama sekali tak membutuhkannya, engkau hendak memberikan sesuatu!”

Usman : “Pemberian itu juga hadiah untuk putri putrimu”

Abdullah : “Mereka juga tak membutuhkan sesuatu, karena aku telah berwasiat kepada mereka untuk membaca surat Al Waqi’ah setiap malam, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang membaca surat Al Waqi’ah setiap malam, maka dia tidak akan tertimpa kefakiran”

Nah, saudara muslimku, informasi ini sudah sampai kepada anda semua, jangan di sia-siakan , mari kita lakukan amalan ini, Insha Allah, kita mampu untuk tetap tegar dalam menghadapi ujian kehidupan ini dan niscaya Insha Allah, kefakiran pun tak akan hadir di hadapan kita semua. Dan berilah wasiat yang sama kepada orang orang yang anda cintai, agar mereka bisa seberuntung seperti yang di sabdakan Rasul SAW di atas. Amin.

mmnasution@eramuslim.com

Baca Selengkapnya......

Senin, 29 Juni 2009

Ummu Ruman Seorang Bidadari Surga

dakwatuna.com – Wanita ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya berakhir di Kinanah.

Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ath-Thufail.

Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ummu Ruman masuk Islam ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah saw.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.

Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya, “Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.” Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.” Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”

Abu Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah, yang ketika itu berusia 6 tahun.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman. Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”

Setelah Abu Bakar berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’, hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut serta dalam kafilah ini.

Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”

Kisah selanjutnya Aisyah sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Nabi Muhammad saw. menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Kami kemudian pergi ke Madinah dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.

Ia kemudian memegang tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada beliau, dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Manaqib, hadits nomor 3605)

Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar pulang ke Madinah.

Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman. Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan kabar itu dari anaknya.

Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata, “Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”

Wanita tersebut berkata, “Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.

Ketika sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya –Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”

Tak lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”

Aisyah kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya, niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong atas apa yang kalian ceritakan.’”

Ummu Ruman berkata, “Beliau kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor 3828).

Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga, Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman.”

Baca Selengkapnya......

Sabtu, 27 Juni 2009

Abu Darda Menabung di Surga

Kebunhidayah - Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda tergolong seorang sahabat yang terlambat masuk kedalam Islam. Sebelumnya ia sangat disibukkan dengan ketekunan perdagangannya dan keasyikannya menyembah berhala. Singkat cerita, dengan bantuan sahabatnya yang lebih dahulu masuk Islam, Abdullah bin Rawahah, akhirnya ia memeluk Islam. :D

Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini, hafal Al Quran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-sungguh sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya usaha perdagangannya yang telah maju tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.
Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput shalat berjamaah, kemudian saya berjual-beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.” Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak mengganggu saya untuk dzikrullah (berzikir).”
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah menumpang bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu bersikeras untuk tetap menanyakannya ke Abu Darda. Ia pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan.
Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunnah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan shalat bersama-sama dengan mereka.”
Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.
Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku se-agama; tetangga se-negeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan harga dua dirham?”
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai ilmu dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,”Mengapa Anda bertindak seperti itu.”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?”
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara.
Khalifah Umar meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukah Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Tanya Umar, “Hadits apa gerangan?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Al Quran) dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung.
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir.
Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja’iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Jawab, “Milik Abdur Rahman bin Auf.”
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, “Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Al Quran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”
Tanya Auf bin Malik, “Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”
Diringkas dari : Shuwar min Hayaatis Shahabah, Dr. Abdur Rahman Ra’fat Basya

:)

Baca Selengkapnya......