ASSALAMU'ALAYKUM. SILAHKAN SURFING DI BLOG SAYA. SEMOGA BERKENAN! ^_^

Selasa, 30 Juni 2009

Wasiat Dahsyat Penolak Kefakiran

Islam itu sangat solutif, berbahagialah bila engkau seorang muslim, apalagi seorang muslim itu adalah enterpreuner (red. Pengusaha), kalaulah dia yakin akan jalannya, untuk berjihad di dunia melalui bisnis, tentulah dia memiliki dua ujung mata pedang dalam langkah perjuangannya, yaitu pertama : Ikhtiar yang sungguh sungguh dalam menjemput rezeki, dan kedua : Kekuatan amalan ibadah dan doa.

Kedua mata pedang tersebut saling menguatkan, kedua mata pedang tersebut menambah kekuatan keyakinan hamba atas kekuasaan Yang Maha Kuasa. Logika bisnis dan usaha kadang-kala menjadi terbalik, bahkan hasil yang di raih pun seringkali ilmu matematika ataupun indikator ekonomi tak mampu menjangkau.

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 35:2)

“Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang di kehendaki Nya di antara hamba-hambaNYA dan menyempitkan bagi (siapa yang di kehendakiNya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi Rezeki yang sebaik baiknya” (QS 34:39)

Pada saat krisis tiba, niscaya mereka para pribadi muslim haruslah merasa yakin dan tetap tenang. Mereka tidak gundah atas berita yang beredar di media masa, mereka tidak turut serta menggaungkan senandung yang sama dengan kaum yang lain , mereka punya sikap yang unik dan berbeda dengan kaum yang lain, alasannya karena mereka punya keyakinan yaitu mereka memiliki ALLAH, PEMILIK SEGALA KEPUTUSAN, PEMBERI REZEKI.

Seringkali ummat islam terlupakan adanya kekuatan ujung mata pedang yang kedua ini yaitu kekuatan amalan ibadah dan doa , sebahagian ummat islam sekarang cenderung mengikuti pola manajemen barat yang serba ‘sebab akibat’ secara rasional, yang tentunya paham barat tersebut telah nyata melupakan faktor Tuhan sebagai Penentu. Walaupun sebagian mereka berhasil dalam usahanya, maka hasil kerja yang di dapat paling tidak hanya memperbanyak digit nilai materi saja, dan hampa dalam nilai keimanan serta berpeluang hilang keberkahannya, ketahuilah bila niat dan hasilnya dasarnya sudah menyimpang , hasil itu semua kelak akan nihil di hadapan Allah.

Rugi sekali bagi seorang muslim, apalagi kalangan pengusaha muslim khususnya, bila meninggalkan kekuatan yang satu ini, mereka punya Allah, mereka punya peluang doanya terkabul, mereka memiliki kesempatan yang lebih baik di banding orang kafir, kenapa kita harus tunduk kepada yang lainnya, bahkan melemahkan diri?

Banyak sekali hadist Nabi maupun kisah sahabatnya yang memberikan gambaran bagaimana seorang muslim berdoa, kesemuanya merupakan karuniaNYA agar ummat islam khususnya para pengusahanya agar memiliki pegangan dan panduan dalam melangkah di kehidupan dunia ini, menjadi pengelana yang tak akan tersesat di antara ujian kehidupan berupa kelapangan maupun kesempitan.

…………

Adalah Abdullah bin Mas’ud , salah seorang sahabat dekat Rasul SAW. Di masa Khalifah Usman bin Affan, dia menderita sakit dan terbaring di atas tempat tidurnya, Khalifah usman menjenguknya dan menyaksikan Abdullah bin Mas’ud dalam keadaan sedih.

Usman : “Apa yang membuatmu sedih?”

Abdullah : “Dosa dosaku”

Usman : “Apa yang engkau inginkan dariku, aku akan penuhi?”

Abdullah : “Saya merindukan rahmat Allah”

Usman : “Jika engkau setuju, aku akan memanggilkan tabib”

Abdullah : “Tabib hanya membuatku sakit”

Usman : “Jika engkau tak keberatan, aku akan perintahkan bendaharaku untuk memberimu harta dari baitul mal”

Abdullah : “Ketika aku amat membutuhkannya, engkau tak memberiku sesuatu, dan sekarang tatkala aku sama sekali tak membutuhkannya, engkau hendak memberikan sesuatu!”

Usman : “Pemberian itu juga hadiah untuk putri putrimu”

Abdullah : “Mereka juga tak membutuhkan sesuatu, karena aku telah berwasiat kepada mereka untuk membaca surat Al Waqi’ah setiap malam, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang membaca surat Al Waqi’ah setiap malam, maka dia tidak akan tertimpa kefakiran”

Nah, saudara muslimku, informasi ini sudah sampai kepada anda semua, jangan di sia-siakan , mari kita lakukan amalan ini, Insha Allah, kita mampu untuk tetap tegar dalam menghadapi ujian kehidupan ini dan niscaya Insha Allah, kefakiran pun tak akan hadir di hadapan kita semua. Dan berilah wasiat yang sama kepada orang orang yang anda cintai, agar mereka bisa seberuntung seperti yang di sabdakan Rasul SAW di atas. Amin.

mmnasution@eramuslim.com

Baca Selengkapnya......

Senin, 29 Juni 2009

Ummu Ruman Seorang Bidadari Surga

dakwatuna.com – Wanita ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya berakhir di Kinanah.

Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ath-Thufail.

Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ummu Ruman masuk Islam ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah saw.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.

Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya, “Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.” Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.” Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”

Abu Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah, yang ketika itu berusia 6 tahun.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman. Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”

Setelah Abu Bakar berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’, hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut serta dalam kafilah ini.

Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”

Kisah selanjutnya Aisyah sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Nabi Muhammad saw. menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Kami kemudian pergi ke Madinah dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.

Ia kemudian memegang tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada beliau, dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Manaqib, hadits nomor 3605)

Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar pulang ke Madinah.

Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman. Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan kabar itu dari anaknya.

Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata, “Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”

Wanita tersebut berkata, “Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.

Ketika sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya –Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”

Tak lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”

Aisyah kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya, niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong atas apa yang kalian ceritakan.’”

Ummu Ruman berkata, “Beliau kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor 3828).

Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga, Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman.”

Baca Selengkapnya......

Sabtu, 27 Juni 2009

Abu Darda Menabung di Surga

Kebunhidayah - Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda tergolong seorang sahabat yang terlambat masuk kedalam Islam. Sebelumnya ia sangat disibukkan dengan ketekunan perdagangannya dan keasyikannya menyembah berhala. Singkat cerita, dengan bantuan sahabatnya yang lebih dahulu masuk Islam, Abdullah bin Rawahah, akhirnya ia memeluk Islam. :D

Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini, hafal Al Quran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-sungguh sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya usaha perdagangannya yang telah maju tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.
Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput shalat berjamaah, kemudian saya berjual-beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.” Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak mengganggu saya untuk dzikrullah (berzikir).”
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah menumpang bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu bersikeras untuk tetap menanyakannya ke Abu Darda. Ia pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan.
Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunnah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan shalat bersama-sama dengan mereka.”
Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.
Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku se-agama; tetangga se-negeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan harga dua dirham?”
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai ilmu dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,”Mengapa Anda bertindak seperti itu.”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?”
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara.
Khalifah Umar meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukah Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Tanya Umar, “Hadits apa gerangan?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Al Quran) dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung.
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir.
Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja’iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Jawab, “Milik Abdur Rahman bin Auf.”
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, “Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Al Quran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”
Tanya Auf bin Malik, “Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”
Diringkas dari : Shuwar min Hayaatis Shahabah, Dr. Abdur Rahman Ra’fat Basya

:)

Baca Selengkapnya......

Selasa, 23 Juni 2009

Ikhlaslah berjuang

dakwatuna.com - “Sesungguhnya hari ini adalah satu hari di antara hari-hari Allah, tidak pantas diisi dengan kebanggaan dan kesombongan atau keangkuhan. Ikhlaskanlah amal dan jihadmu dan tujulah Allah dengan amalmu, karena hari ini menentukan hari-hari yang akan datang.” (Orasi Khalid bin Walid di tengah berkecamuknya perang Yarmuk)
Kata ikhlas sudah begitu sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Bagi setiap pejuang dan prajurit dakwah, semestinya ikhlas tidak boleh lagi menjadi sekadar retorika, melainkan ia harus hadir dan ada dalam diri kita, menyatu dalam pikiran, hati, dan menjadi jiwa dari setiap nafas dan gerak amal dan perjuangan kita. Bersamanya kita memulai hari-hari, dengannya kita membangun ukhuwah dan menapaki jalan dakwah ini.

Bukan tanpa maksud Imam Hasan Al-Banna meletakkan ikhlas dalam rukun baiatnya. Jika ada satu saja gerak kita yang tidak ikhlas, berarti kita secara syar’i telah mengkhianati Allah dan telah mengkhianati komitmen kita sendiri dan pada sebuah organisasi. Na’udzu billah min dzalik.
Karena itu, saudaraku yang kucintai karena Allah, sudah sepatutnya kita menyadari dengan sepenuh hati, bahwa sejak pertama kali bergabung dengan suatu organisasi atau suatu jamaah, ikhlas telah menjadi tuntutan dan kewajiban yang mengikat diri kita sampai Allah swt. menentukan putusan-Nya; menampakkan kemenangan bagi dakwah ini atau kita syahid dalam menegakkan dan membelanya.
Di sini saya tidak akan menguraikan makna ikhlas dengan kata-kata, kita semua bahkan telah menghafalnya di luar kepala. Saya ingin mengajak kita semua untuk merenungi bersama kata-kata ini:
Apakah kita telah menjadikan ikhlas sebagai sesuatu yang menyatu dalam diri kita, melebur, menjasad, mendarah daging, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita?
Apakah ikhlas telah merasuk dalam pemikiran kita sehingga membuat kita menjadi produktif sekaligus kreatif dalam mengeluarkan gagasan untuk membangun dakwah Islam tanpa tendensi apapun selain kepada Allah?
Apakah ikhlas telah melebur dalam hati kita sehingga menjadikan kita mampu memandang segala permasalahan dalam dakwah ini dengan jernih, dan menjadikan kita mampu membangun ukhuwah, ukhuwah yang sebenarnya bukan sekadar hiasan kata?
Apakah ikhlas telah menjadi jiwa dari setiap amal yang kita lakukan, sehingga menjadikan kita rela melaksanakan apapun perintah dan kebijakan organisasi atau jamaah dengan penuh tanggung jawab, tanpa rasa berat dan tidak berharap balasan atas semua itu kecuali hanyalah dari Allah Taala?
Wahai saudaraku, para aktivis dakwah yang saya cintai karena Allah, apakah ikhlas baru sekadar kata tanpa makna, atau ia cuma retorika yang kita suapkan kepada para objek dakwah kita?
Takutlah kepada Allah, karena Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kemenangan dakwah ini sejak dulunya selalu terkait dengan keikhlasan para prajuritnya. Apa yang kita inginkan ketika berdakwah dan berjuang menyebarkan nilai-nilai Islam?
Motivasi awal dan keinginan kita adalah meraih ridha Allah. Semua kerja dan aktivitas dakwah yang kita lakukan sebagai sarana atau alat untuk meraih keridhaan Allah, lain tidak. Bagi kita, ridha Allah adalah imbalan terbesar dan termahal, karena itu kita sudah merasa cukup dengan imbalan itu.
Yakinlah bahwa Allah akan terus menyertai perjuangan kita selama perjuangan kita murni, bersih dari noda yang mengotorinya, selama motivasi dan keinginan kita dalam perjuangan ini tidak bergeser atau berubah. Karena itu, sekali lagi, Ikhlaslah dan teruslah pelihara keikhlasan itu sampai Allah Taala memberikan kemenangan atau kita mendapatkan keridhaan-Nya di sisi-Nya sebagai syuhada!


Baca Selengkapnya......

Senin, 15 Juni 2009

Qiyamul-Lail dan Membaca Seratus Ayat

Ramadhan merupakan bulan di mana Allah ta’aala wajibkan berpuasa di dalamnya sedangkan Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sunnahkan kaum muslimin melaksanankan qiyamul-lail (sholat malam/ sholat tahajjud).
Hendaknya ummat Islam memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang sangat berharga ini. Jangan ada satu malampun di bulan suci Ramadhan yang tidak diisi dengan kegiatan sholat malam.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَمَضَانَ
شَهْرٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِينَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ (أحمد)
Bersabda Rasululah shollallahu ’alaih wa sallam, "Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan di mana Allah ta’aala wajibkan berpuasa dan aku sunnahkan kaum muslimin menegakkan (sholat malam). Barangsiapa berpuasa dengan iman dan dan mengharap ke-Ridhaan Allah ta’aala, maka dosanya keluar seperti hari ibunya melahirkannya." (HR Ahmad 1596)

Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam memberikan gambaran mengenai kategori orang yang bangun di tengah malam. Ada orang yang dikategorikan sebagai bukan orang yang lalai, yaitu bilamana di tengah malam ia membaca sekurangnya sepuluh ayat Al-Qur’an. Ada kategori yang disebut sebagai orang yang patuh kepada Allah ta’aala, yaitu mereka yang membaca sekurangnya seratus ayat di tengah malam. Bahkan ada yang disebut sebagai orang yang berharta banyak, yaitu mereka yang membaca sekurangnya seribu ayat di tengah malam.
من قام بعشر آيات لم يكتب من الغافلين و من قام بمائة آية
كتب من القانتين و من قرأ بألف آية كتب من المقنطرين
“Barangsiapa bangun malam membaca sepuluh ayat, maka ia tidak dicatat sebagai golongan al-ghaafiliin (orang-orangyanglalai). Dan barangsiapa bangun malam membaca seratus ayat, maka ia dicatat sebagai golongan al-qaanitiin (orang-orang yang patuh). Dan barangsiapa membaca seribu ayat, maka ia dicatat sebagai golongan al-muqonthiriin (orang-orang berharta banyak).” (Al-Al-Bani dalam ”Silsilah Shahihah-nya 2/242”. HR Abu Dawud 1/221 dan HR Ibnu Khuzaimah 1/125)
Subhanallah...! Betapa luasnya rahmat dan kasih sayang Allah ta’aala. Marilah saudaraku, kita kejar prestasi ibadah sebaik mungkin. Kita coba gapai rahmat Allah ta’aala dengan rajin berdzikir mengingatNya. Silahkan, jika anda sekedar tidak ingin disebut al-ghaafilin (orang yang lalai mengingat Allah ta’aala) bacalah setiap malam sekurangnya sepuluh ayat.
Jika anda ingin meraih yang lebih baik, yaitu dipandang sebagai al-qaanitin (orang yang patuh kepadaNya), maka bacalah sekurangnya seratus ayat.
Namun, jika ingin memperoleh kedudukan yang lebih baik lagi, maka bacalah seribu ayat di tengah malam! Maka anda akan dipandang sebagai al-muqonthiriin (orang yang sangat kaya)...!
Kalau anda termasuk orang yang selama ini jarang sholat malam, maka mulailah membiasakan diri sholat malam dengan setidaknya membaca sepuluh ayat saja setiap malam. Sebab dengan melakukan kegiatan minimal ini anda sudah membebaskan diri anda dari penilaian Allah ta’aala sebagai orang yang lalai.
Jika anda sudah terbiasa sholat malam namun selama ini belum pernah menetapkan target jumlah dzikrullah, maka mulailah di bulan suci ini untuk bertekad mencapai predikat sebagai orang yang tunduk kepada Allah ta’aala. Bacalah setiap malam minimal seratus ayat.
Bagi mereka yang selama ini sudah terbiasa sholat malam dan membaca sekurangnya seratus ayat dan masih sanggup untuk menambah targetnya, maka bulan Ramadhan ada baiknya anda mulai berfikir untuk mencapai predikat orang yang banyak hartanya. Bacalah setiap malam sekurangnya seribu ayat...!
Yang jelas, orang beriman memang dituntut untuk banyak mengingat Allah ta’aala.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
”Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS Al-Ahzab ayat 41)
Orang munafiq-pun mengingat Allah ta’aala. Namun mereka tidak mengingat Allah ta’aala kecuali sedikit. Mereka malas dan merasa terpaksa mengingat Allah ta’aala.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى
الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah ta’aala, dan Allah ta’aala akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah ta’aala kecuali sedikit sekali.” (QS An-Nisa ayat 142)
Maka saudaraku, marilah kita perbanyak mengingat Allah ta’aala di bulan suci Ramadhan. Tidak ada ruginya mengingat Allah ta’aala. Bahkan sebaliknya, barangsiapa yang rajin mengingat Allah ta’aala niscaya ia akan terpelihara dari azab Allah ta’aala, baik di dunia maupun di akhirat. InsyaAllah.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا قَطُّ أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Tidak ada amal anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari azab Allah ta’aala selain dzikrullah.” (HR Ahmad 21064)


Baca Selengkapnya......

Keutamaan Qiyamul-Lail

Hendaknya ummat Islam memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan Ramadhan yang sangat berharga, terutama di sepuluh malam terakhir. Jangan ada satu malampun di bulan suci Ramadhan yang tidak diisi dengan kegiatan sholat malam.
Ramadhan merupakan bulan di mana Allah ta’aala wajibkan berpuasa di dalamnya sedangkan Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sunnahkan kaum muslimin melaksanankan qiyamul-lail (sholat malam/ sholat tahajjud).

َقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَمَضَانَ
شَهْرٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِينَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ (أحمد)
Bersabda Rasululah shollallahu ’alaih wa sallam, "Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan di mana Allah ta’aala wajibkan berpuasa dan aku sunnahkan kaum muslimin menegakkan (sholat malam). Barangsiapa berpuasa dengan iman dan dan mengharap ke-Ridhaan Allah ta’aala, maka dosanya keluar seperti hari ibunya melahirkannya." (HR Ahmad 1596)
Perlu diketahui bahwa sholat malam diperintahkan Allah ta’aala khusus kepada Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam melalui firmanNya sbb:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS Al-Israa ayat 79)
Tetapi seluruh ummat Islam disyariatkan mencontoh kepada perbuatan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Sepatutnya setelah Ramadhan berlalu hendaknya kita terus mengerjakan qiyamullail ini. Sebab Allah ta’aala menjelaskan bahwa orang-orang yang menjaga sholat malam, itulah sebenarnya orang yang berhak dan layak menerima kebaikan serta rahmat-Nya.
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS Adz-Dzaariyaat ayat 15-18)
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menganjurkan ummatnya untuk mengerjakan sholat malam sambil menjelaskan bahwa kegiatan mulia tersebut merupakan kebiasaan orang-orang sholeh sejak zaman dahulu. Di samping itu ternyata sholat malam menghasilkan banyak manfaat sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ
قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنْ الْإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ

Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda : “Kerjakanlah sholat malam sebab ia merupakan kebiasaan orang-orang sholeh sebelum kamu pada zaman dahulu. Ia juga merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’aala, sebagai penebus amal kejahatan-kejahatanmu, pencegah dosa dan penangkal penyakit pada badan.” (HR Tirmidzi 3472)
Bahkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam memasukkan orang yang biasa sholat malam sebagai kelompok yang dijamin bakal masuk surga, tempat kenikmatan abadi yang Allah ta’aala sediakan bagi hamba-hambaNya yang sholeh.
أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, jalinlah hubungan silaturrahim, sholatlah di waktu malam tatkala orang-orang masih tidur, pasti kamu semua masuk surga dengan selamat dan sejahtera.” (HR Tirmidzi 2409)
Saudaraku, tidakkah kita ingin selalu dekat dengan Allah ta’aala? Tidakkah kita berambisi untuk meraih tebusan Allah ta’aala atas segala amal kejahatan yang pernah kita lakukan? Tidakkah kita merasa perlu memiliki pencegah dari melakukan dosa dalam diri kita? Dan tidakkah kita ingin selalu mempunyai penangkal saat penyakit badan muncul? Kemudian saudaraku, tidakkah kita ingin masuk surga Allah ta’aala dan hidup kekal dalam kenikmatan tiada tara itu?
Marilah, saudaraku, kita senantiasa hidupkan qiyamullail, baik di bulan Ramadhan maupun di luarnya.



Baca Selengkapnya......

Bacaan Sesudah Shalat 5 Waktu

Di antara manfaat sholat lima waktu setiap hari ialah dihapuskannya dosa-dosa oleh Allah ta’aala. Subhaanallah...! Bayangkan, setiap seorang muslim selesai mengerjakan sholat yang lima waktu berarti ia baru saja membersihkan dirinya dari tumpukan dosa yang sadar tidak sadar telah dikerjakannya antara sholat yang baru ia kerjakan dengan sholat terakhir yang ia ia kerjakan sebelumnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sholat lima waktu dan (sholat) Jum’at ke (sholat) Jum’at serta dari Ramadhan ke Ramadhan semua itu menjadi penghabus (dosanya) antara keduanya selama ia tidak terlibat dosa besar.” (HR Muslim 2/23)

Bila seorang muslim memahami dan meyakini kebenaran hadits di atas, niscaya ia tidak akan membiarkan satu kalipun sholat lima waktunya terlewatkan. Bahkan dalam hadits yang lain dikatakan bahwa bila seorang muslim khusyu dalam sholatnya, maka ia akan diampuni segenap dosanya di masa lalu. Subhaanallah...!
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Tidak seorangpun yang bilamana tiba waktu sholat fardhu lalu ia membaguskan wudhunya, khusyu’nya, rukuknya, melainkan sholatnya menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi ia tidak mengerjakan dosa yang besar. Dan yang demikian itu berlaku untuk seterusnya.” (HR Muslim 2/13)
Setiap hari manusia senantiasa melakukan dosa, baik sengaja maupun tidak. Maka seorang mu’min yang sadar pasti akan menempuh segenap upaya yang bisa mendatangkan ampunan Allah ta’aala dan dapat menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sehingga Allah ta’aala menggambarkan ciri orang bertaqwa sebagai orang yang bersegera menggapai ampunan Allah ta’aala.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 133)
Seorang yang beriman dan bertaqwa sangat tamak akan ampunan Allah ta’aala sebab ia tahu benar bahwa jika ia wafat dalam keadaan telah diampuni segenap dosanya berarti ia akan mengalami ketenteraman dalam hidup di alam kubur dan di akhiratnya. Demikianlah Nabiyullah Ibrahim ’alihis-salaam tatkala bermunajat di hadapan Allah ta’aala:
وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
”...dan (Dialah Tuhan) Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat". (QS Asy-Syuara ayat 8)
Maka untuk menyempurnakan datangnya ampunan Allah ta’aala dan dihapuskannya segenap kesalahan, seorang mu’min menutup sholat lima waktunya dengan membaca wirid yang diajarkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Suatu bentuk wirid yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam jamin akan menyebabkan semua kesalahan seseorang bakal dihapus Allah ta’aala walaupun sebanyak lautan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu ia berkata bahwa Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa bertasbih (membaca SubhanAllah) 33 kali sesudah setiap sholat lalu bertahmid (membaca Alhamdulillah) 33 kali lalu bertakbir 33 (membaca Allah Akbar) kali maka itulah sembilanpuluh sembilan. Lalu ia menyempurnakan menjadi seratus dengan:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Tidak ada ilah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segenap kerajaan dan miliknya segenap puji-pujian, dan Dia atas segala sesuatu Maha Berkuasa, maka dihapuskan segenap kesalahannya walaupun sebanyak lautan.” (HR Muslim 939)



Baca Selengkapnya......

Cahaya Membaca surat Al-Kahfi

Salah satu doa orang beriman yang diabadikan di dalam Al-Qur’an ialah:
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS At-Tahrim ayat 8)
Doa ini dipanjatkan kepada Allah ta’aala oleh orang-orang beriman pada saat mereka melintasi jembatan di atas neraka. Suatu jembatan yang digambarkan oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sebagai ”lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang.” Setiap orang yang pernah mengucapkan kalimat tauhid akan melintasi jembatan yang membentang di atas neraka.
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
”Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS Maryam ayat 71)

Ketika menyeberangi jembatan tersebut keadaan sangat mencekam dan gelap. Sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyatakan bahwa orang akan menyeberangi jembatan itu sesuai cahaya yang ia miliki. Cahaya tersebut berbanding lurus dengan tingkat keimanan dan amal kebaikan yang telah diinvestasikan seseorang sewaktu hidupnya di dunia. Orang yang beriman akan sanggup menyeberanginya hingga selamat sampai ke ujung. Sedangkan orang munafiq akan mengalami gangguan dalam menyeberanginya sehingga mereka bakal jatuh terjungkal ke dalam panasnya api neraka di bawah jembatan tersebut.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَدْعُو النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِهِمْ سِتْرًا مِنْهُ عَلَى عِبَادِهِ، وَأَمَّا عِنْدَ الصِّرَاطِ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي كُلَّ مُؤْمِنٍ نُورًا، وَكُلَّ مُؤْمِنَةٍ نُورًا، وَكُلَّ مُنَافِقٍ نُورًا، فَإِذَا اسْتَوَوْا عَلَى الصِّرَاطِ سَلَبَ اللَّهُ نُورَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ، فَقَالَ الْمُنَافِقُونَ: "انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ"[الحديد آية 13] وَقَالَ الْمُؤْمِنُونَ: "رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنا"[التحريم آية 8] فَلا يَذْكُرُ عِنْدَ ذَلِكَ أَحَدٌ أَحَدًا.
“Allah ta’aala akan memanggil umat manusia di akhirat nanti dengan nama-nama mereka, ada tirai penghalang dari-Nya atas hamba-hambaNya. Adapun di atas jembatan Allah ta’aala memberikan cahaya kepada setiap orang beriman dan orang munafiq. Bila mereka telah berada di tengah jembatan, Allah ta’aala-pun segera merampas cahaya orang-orang munafiq. Mereka menyeru kepada orang-orang beriman: ”Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kamu.”(QS AtTahrim ayat 8) Dan berdoalah orang-orang beriman: ”Ya Rabb kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami.” (AlHadid ayat 13) Ketika itulah setiap orang tidak akan ingat orang lain.” (HR Thabrani 11079)
Saudaraku, sungguh ini merupakan peristiwa yang sangat menakutkan. Sebab tidak seorangpun yang tahu apakah dirinya akan sanggup selamat hingga ke ujung jembatan pada saat itu. Maka marilah kita pelihara dan selalu tingkatkan ketaqwaan kita. Sebab Allah ta’aala menjamin bahwa orang-orang bertaqwa pasti akan diselamatkan dari api neraka. Hanya mereka yang zalim-lah yang akan dibiarkan terjungkal dari jembatan dan merasakan siksa neraka.
ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
”Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS Maryam ayat 72)
Bahkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menegaskan dalam sebuah hadits bahwa orang bertaqwa tidak akan merasakan panasnya neraka karena Allah ta’aala akan jadikan api neraka laksana api yang menyentuh Nabi Ibrahim’alihis-salaam, yakni terasa dingin dan selamat bagi muttaqin.
لَا يَبْقَى بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ إِلَّا دَخَلَهَا فَتَكُونُ عَلَى الْمُؤْمِنِ بَرْدًا وَسَلَامًا كَمَا كَانَتْ عَلَى إِبْرَاهِيمَ حَتَّى إِنَّ لِلنَّارِ أَوْ قَالَ لِجَهَنَّمَ ضَجِيجًا مِنْ بَرْدِهِمْ ثُمَّ يُنَجِّي اللَّهُ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَيَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
“Tidak ada orang sholeh dan orang jahat yang tersisa melainkan dia masuk ke neraka. Neraka itu dingin dan menyelamatkan bagi orang beriman, seperti halnya yang dialami Ibrahim sehingga neraka itu gaduh lantaran dinginnya mereka. Kemudian Allah ta’aala menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (HR Ahmad 13995)
Dan dalam hadits lainnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam memberikan kabar gembira bahwa orang-orang beriman yang sholeh akan dikeluarkan dari neraka karena amal baiknya.
{ وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا } قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرِدُ النَّاسُ النَّارَ كُلُّهُمْ ثُمَّ يَصْدُرُونَ عَنْهَا بِأَعْمَالِهِمْ
“Dan tidak ada seorangpun darimu, melainkan mendatangi sekitar neraka itu.” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Seluruh manusia datang ke sekitar neraka, kemudian mereka keluar dari sana dengan amal baiknya.” (HR Ahmad 3927)
Maka, saudaraku, marilah kita persiapkan bekal cahaya sebanyaknya guna menerangi lintasan kita di atas jembatan tersebut kelak. Dan salah satu bentuk upayanya ialah dengan secara disiplin setiap hari Jum’at membaca surah Al-Kahfi.
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « إن من قرأ سورة الكهف يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين »
“Sesungguhnya barangsiapa membaca surah Al-Kahfi pada hari Jum’at, niscaya ia akan diterangi oleh cahaya antara dua Jum’at.” (HR Hakim 3349)
Bila setiap hari Jum’at kita disiplin membaca surah Al-Kahfi, maka insyaAllah hidup kita sepanjang umur akan senantiasa deterangi cahaya untuk bekal keselamatan di akhirat, khususnya ketika melintasi jembatan di atas neraka. Amin.-



Baca Selengkapnya......

Hadits Qudsi

"Wahai anak manusia, setiap kali engkau meminta kepada-Ku dan mengharap dari-Ku, maka Aku akan ampunkan bagimu apa yang telah lalu dan Aku tidak peduli betapapun besar dan banyaknya dosamu. Wahai anak manusia, seandainya dosa-dosamu mencapai setinggi langit, kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak manusia, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa setumpuk dosa sebesar bumi, kemudian engkau berjumpa dengan-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, maka Aku akan memberikan ampunan sebesar bumi itu pula" (Hadits Qudsi Riwayat Turmudzi)

Baca Selengkapnya......

Hadist Harian

�Sesungguhnya Allah jika mnghendaki membinasakan seorang hamba, maka Dia mncabut dari orang itu rasa malu. Jika telah tercabut darinya rasa malu, engkau tidak menjumpai orang itu kecuali bergelimang dosa. Jika engkau tidak menjumpai kecuali bergelimang dosa, dicabut (pula) dari dirinya amanah. Apabila telah dicabut darinya amanah, engkau tidak menjumpainya kecuali sebagai orang yang berkhianat dan dikhianati. Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan berkhianat dan dikhianati, maka dicabut darinya rahmat (Allah). Apabila telah dicabut darinya rahmat (Allah), engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat. Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat, maka dicabut darinya ikatan dengan Islam�. (HR. Ibnu Majah)

Baca Selengkapnya......

Jumat, 12 Juni 2009

Tak Perlu Malu Berkata “Tidak Tahu’’

Hidayatullah.com--Para ulama terdahulu tidak pernah malu berterus terang jika mereka benar-benar tidak tahu. Karena mereka tahu, bahwa konsekwensi berfatwa tidak didasari ilmu adalah berat. Dan sifat mereka yang hati-hati inilah yang justru menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu. Banyak yang bisa kita tiru dari sifat-sifat baik mereka.

Al Khatib Al Baghdadi mengisahkan bahwa Imam Malik ditanya 48 masalah, hanya dua yang dijawab, dan 30 masalah lainnya dijawab dengan, “la adri“ (saya tidak tahu) (Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/170).

Kejadian ini tidak hanya sekali. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Mahdi bahwa seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik, akan tetapi tidak satupun dijawab oleh beliau hingga lelaki itu mengatakan:“Aku telah melakukan perjalanan selama 6 bulan, diutus oleh penduduk bertanya kepadamu, apa yang hendak aku katakan kepada mereka?“ Imam Malik menjawab, “katakan bahwa Malik tidak bisa menjawab!“ (Nukilan dari Al Maqalat Al Kautsari, 398).

Seorang faqih besar Madinah, Imam Madzhab yang dianut ribuan ulama hingga kini, yang madzhabnya menyebar hingga Andalusia tidak segan-segan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu menjawab. Tidak hanya beliau, para ulama Madinah juga amat berhati-hati dalam menjawab masalah halal dan haram. Karena jika tidak mengetahui masalah, kemudian memaksakan menjawab, sama dengan menisbatkan suatu perkara yang bukan syari’at kepada syari’at. Beliau menyatakan:“Tidak ada sesuatu yang paling berat bagiku, melebihi pertanyaan seseorang tentang halal dan haram. Karena hal ini memutuskan hukum Allah. Kami mengetahui bahwa ulama di negeri kami (Madinah), jika salah satu dari mereka ditanya, sekan-akan kematian lebih baik darinya.“ (dari Maqalat Al Kautsari, 399).

Abu Hanifah, Imam Madzhab paling tua dari empat madzhab juga pernah ditanya 9 masalah, semua dijawab dengan “la adri”. (lihat, Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/171).

“La Adri“, Bagian dari Ilmu

Sampai saat ini ada juga yang masih mengira, jika seseorang tidak tahu, lalu ia terus terang mengatakan “saya tidak tahu“, maka sederet stigma negatif akan menempel kepadanya, seperti kurang pengetahuan, bodoh, kuper dll.

Padahal tidak demikian, beberapa ulama seperti Al Mawardi dan Al Munawi menjelaskan, justru merupakan sifat orang alim, jika ia tidak tahu maka ia terus terang. Sebaliknya sifat orang bodoh, jika ia takut mengatakan kalau dirinya tidak tahu, dan hal itu bukanlah sebuah aib.

Beliau menjelaskan:“Kedudukan seorang alim tidak akan jatuh dengan mengatakan “saya tidak tahu“ terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui. Ini malah menunjukkan ketinggian kedudukannya, keteguhan dien-nya, takutnya kepada Allah Ta’ala, kesucian hatinya, sempurna pengetahuannya serta kebaikan niatnya. Orang yang lemah dien-nya merasa berat melakukan hal itu. Karena ia takut derajatnya jatuh di depan para hadirin dan tidak takut jatuh dalam pandangan Allah. Ini menunjukkan kebodohan dan keringkihan diennya“. (Faidh Al Qadir, 4/387-388).

Imam Al Mawardi juga menyebutkan: “Jika tidak memungkinkan mendapat kesempatan untuk menguasai seluruh ilmu, maka jahil terhadap beberapa masalah bukan merupakan suatu aib. Jika demikian maka janganlah engkau malu mengatakan,“saya tidak tahu“, menyangkut hal-hal yang engkau tidak tahu“. (lihat, Adab Ad Dunya wa Ad Din, 82)

Sehingga tidaklah heran jika para salaf menyatakan bahwa “la adri“ (saya tidak tahu) adalah bagian dari ilmu. Seperti Abdullah bin Umar yang menyatakan: “Ilmu ada tiga: Kitab yang dibaca, Sunnah yang ditegakkan, dan la adri.“ (Riwayat Ibnu Majah).


Baca Selengkapnya......

Dirikanlah Shalat!

Oleh: Tim dakwatuna.com

Sujud Ketika Shalat, dan Tunduk di Luar Shalat
dakwatuna.com - Setiap kewajiban yang telah dibebankan Islam kepada umatnya senantiasa memuat hikmah dan maslahat bagi mereka. Islam menginginkan terbentuknya akhlak Islami dalam diri Muslim ketika ia mengimplementasikan setiap ibadah yang telah digariskan oleh Allah swt. dalam Kitab dan Sunnah rasul-Nya. Pada akhirnya nilai-nilai keagungan Islam senantiasa mewarnai ruang kehidupan Muslim. Tidak hanya terbatas pada ruang kepribadian individu Muslim, namun nilai-nilai itu dapat ditemukan pula dalam ruang kehidupan keluarga dan komunitas masyarakat Muslim.

Kita bisa merenungkan kembali ayat-ayat Allah yang berkaitan dengan hal ini, sebagaimana salah satu firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Melalui ibadah puasa, Allah swt. menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang bertakwa. Pribadi yang tidak pernah mengenal slogan hidup kecuali slogan yang agung ini yaitu: sami’naa wa atha’na. Pribadi yang senantiasa melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam situasi dan kondisi apapun. Oleh karenanya, Rasulullah Muhammad saw. telah bersabda:
“Takutlah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikuti keburukan (sayyiah) dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya. Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik.”
Dalam sabda beliau yang lain:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa faridlah (kewajiban), maka jangan sekali-kali kamu menyia-nyiakannya. Dia telah menetapkan batasan-batasan, maka jangan sekali-kali kamu melampui batas. Dia telah mengharamkan banyak hal, maka jangan sekali-kali melanggarnya….”
Tentang zakat Allah swt berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 103)
Dengan ibadah zakat, Islam mengharapkan tumbuh subur sifat-sifat kebaikan dalam jiwa seorang Muslim dan mampu memberangus kekikiran dan cinta yang berlebihan kepada harta benda.
Begitu juga ibadah shalat yakni ibadah yang jika seorang hamba melaksanakan dengan memelihara syarat-syarat, rukun-rukun, wajibat, adab-adab, dan kekhusyu’an di dalamnya, niscaya ibadah ini akan menjauhkannya dari perbuatan keji dan kemunkaran. Sebaliknya, ibadah ini akan mendekatkan seorang hamba yang melaksanakannya dengan sebenarnya kepada Sang Khalik dan mendekatkannya kepada kebaikan-kebaikan serta cahaya hidup.
Perhatikan ayat berikut ini:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ankabut: 45)
Muslim yang selalu menunaikan ibadah ini akan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kebaikan dan mampu menjadi cahaya di tengah-tengah masyarakatnya. Muslim yang memiliki hamasah -semangat- yang menggelora dalam memperjuangkan kebenaran dan memberangus nilai-nilai kemunkaran, kelaliman, dan perbuatan keji lainnya. Hatinya terasa tersayat di saat menyaksikan pornografi dan porno aksi mewabah di tengah-tengah masyarakatnya. Jiwanya akan terus gelisah ketika melihat kelaliman yang dipermainkan para budak kekuasaan. Memang, ia harus menjadi cahaya yang berjalan di tengah-tengah kegelapan zaman ini.
Allah berfirman:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 122)
Ibadah shalat adalah awal kewajiban yang diperintahkan Allah swt. kepada umat ini pada peristiwa Isra dan Mi’raj. Ibadah yang merupakan simbol dan tiang agama. Rasulullah saw. bersabda:
“Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (H.R. Muslim)
Ibadah yang dijadikan Allah sebagai barometer hisab amal hamba-hamba-Nya di akhirat, “Awal hisab seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya baik, dan apabila buruk maka seluruh amalnya buruk.” (H.R. At-Thabrani)
Ibadah shalat merupakan wasiat Nabi yang terakhir kepada umat ini dan yang paling terakhir dari urwatul islam (ikatan Islam) yang akan dihapus oleh Allah swt.
Selain itu, shalat juga penyejuk mata, waktu rehatnya sang jiwa, saat kebahagiaan hati, kedamaian jiwa dan merupakan media komunikasi antara hamba dan Rabbnya.
Ibadah yang memiliki kedudukan atau manzilah yang agung ini tidak akan hadir maknanya dalam kehidupan kita, tatkala kita lalai menjaga arkan, wajibat dan sunah-sunnahnya yang inheren dengan ibadah ini. Tatkala kita tidak mampu menghadirkan hati, merajut benang kekhusukan dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah ini, maka kita tidak akan mampu menangkap untaian makna yang terkandung di dalamnya. Kita tidak akan mampu memahami sinyal-sinyal rahasia yang ada di balik ibadah ini.
Tidakkah banyak di antara manusia Muslim yang ahli ibadah namun masih jauh dari nilai-nilai Islam. Ahli shalat, namun masih suka melakukan kemaksiatan. Hal ini disebabkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah sama sekali tidak mampu memberikan pesan-pesan Ilahiah di luar shalat. Takbir yang dikumandangkan di saat beribadah tidak mampu melahirkan keagungan di luar shalat. Do’a iftitah “Inna shalaatii wa nusukii….” yang dilafazkan dalam shalat tidak mampu mengingatkan tujuan hidupnya. Ibadah ini seolah-olah hanya menjadi gerakan-gerakan ritual yang maknanya tidak pernah membumi dalam kehidupan orang yang melaksanakannya.
Oleh karena itu, ibadah shalat yang mampu melahirkan hikmah pencegahan dari perbuatan keji dan kemungkaran, hikmah pensucian jiwa dan ketentraman, apabila dilakukan dengan penuh kekhusyukan, mentadabburkan gerakan dan ucapan yang terkandung di dalamnya, penuh ketenangan dan dengan tafakkur yang sesungguhnya. Maka ia akan keluar dari ibadah dengan merasakan kenikmatannya, terwarnai dengan nilai-nilai keta’atan dan mendapatkan cahaya ma’rifatullah. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak seorangpun yang melaksanakan shalat maktubah (fardlu), lalu ia memperbaiki wudlunya, khusyuknya dan rukuknya kecuali shalat ini akan menjadi pelebur dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan ini berlaku sepanjang tahun.” (H.R. Muslim)
Inilah yang pernah dilakukan oleh salafusshalih termasuk di dalamnya Ibnu Zubair ra. Mereka laksana tiang yang berdiri tegak karena kekhusyukannya. Mereka terbius dengan kerinduannya akan Rabbnya dan mereka asyik berkomunikasi dengan Sang Khalik tanpa terganggu dengan suara makhluk-Nya.
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di saat melaksanakan ibadah shalat agar hikmah di dalamnya selalu terjaga:
Pertama, menjaga arkan, wajibat dan sunah. Rasulullah saw. bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.”
Kedua, ikhlas, khusyuk dan menghadirkan hati. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah:5)
Ketiga, memahami dan mentadabburi ayat, doa dan makna shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Maa’uun: :4-5)
Keempat, mengagungkan Allah swt. dan merasakan haibatullah. Rasulullah saw. bersabda: “…Kamu mengabdi kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya dan apabila kamu tidak melihat-Nya, maka (yakinlah) bahwasanya Allah melihat kamu…” (H.R. Muslim)
Semoga kita semua mampu merenungkan kembali arti shalat dalam kehidupan keseharian dan berusaha terus-menerus untuk memperbaikinya agar kita benar-benar mi’raj kepada Allah swt. Wallahu A’lam Bish-shawwab


Baca Selengkapnya......

5 Bekal Istri Aktivis Dakwah

Oleh: Dra. Anis Byarwati, MSi.

dakwatuna.com - Seorang aktivis dakwah membutuhkan istri yang ‘tidak biasa’. Kenapa? Karena mereka tidak hanya memerlukan istri yang pandai merawat tubuh, pandai memasak, pandai mengurus rumah, pandai mengelola keuangan, trampil dalam hal-hal seputar urusan kerumah-tanggaan dan piawai di tempat tidur. Maaf, tanpa bermaksud mengecilkan, berbagai kepandaian dan ketrampilan itu adalah bekalan ‘standar’ yang memang harus dimiliki oleh seorang istri, tanpa memandang apakah suaminya seorang aktivis atau bukan. Atau dengan kalimat lain, seorang perempuan dikatakan siap untuk menikah dan menjadi seorang istri jika dia memiliki berbagai bekalan yang standar itu. Lalu bagaimana jika sudah jadi istri, tapi tidak punya bekalan itu? Ya, jangan hanya diam, belajar dong. Istilah populernya learning by doing.

Kembali kepada pokok bahasan kita. Menjadi istri aktivis berarti bersedia untuk mempelajari dan memiliki bekalan ‘di atas standar’. Seperti apa? Berikut ini adalah bekalan yang diperlukan oleh istri aktivis atau yang ingin menikah dengan aktivis dakwah:

1. Bekalan Yang Bersifat Pemahaman (fikrah).

Hal penting yang harus dipahami oleh istri seorang aktivis dakwah, bahwa suaminya tak sama dengan ‘model’ suami pada umumnya. Seorang aktivis dakwah adalah orang yang mempersembahkan waktunya, gerak amalnya, getar hatinya, dan seluruh hidupnya demi tegaknya dakwah Islam dalam rangka meraih ridha Allah. Mendampingi seorang aktivis adalah mendampingi seorang prajurit Allah. Tak ada yang dicintai seorang aktivis dakwah melebihi cintanya kepada Allah, Rasul, dan berjihad di jalan-Nya. Jadi, siapkan dan ikhlaskan diri kita untuk menjadi cinta ‘kedua’ bagi suami kita, karena cinta pertamanya adalah untuk dakwah dan jihad!

2. Bekalan Yang Bersifat Ruhiyah.

Berusahalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jadikan hanya Dia tempat bergantung semua harapan. Miliki keyakinan bahwa ada Kehendak, Qadha, dan Qadar Allah yang berlaku dan pasti terjadi, sehingga tak perlu takut atau khawatir melepas suami pergi berdakwah ke manapun. Miliki keyakinan bahwa Dialah Sang Pemilik dan Pemberi Rezeki, yang berkuasa melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Bekalan ini akan sangat membantu kita untuk bersikap ikhlas dan qana’ah ketika harus menjalani hidup bersahaja tanpa limpahan materi. Dan tetap sadar diri, tak menjadi takabur dan lalai ketika Dia melapangkan rezeki-Nya untuk kita.

3. Bekalan Yang bersifat Ma’nawiyah (mentalitas).

Inilah di antara bekalan berupa sikap mental yang diperlukan untuk menjadi istri seorang aktivis: kuat, tegar, gigih, kokoh, sabar, tidak cengeng, tidak manja (kecuali dalam batasan tertentu) dan mandiri. Teman saya mengistilahkan semua sikap mental ini dengan ungkapan yang singkat: tahan banting!

4. Bekalan Yang bersifat Aqliyah (intelektualitas).

Ternyata, seorang aktivis tidak hanya butuh pendengar setia. Ia butuh istri yang ‘nyambung’ untuk diajak ngobrol, tukar pikiran, musyawarah, atau diskusi tentang kesibukan dan minatnya. Karena itu, banyaklah membaca, rajin mendatangi majelis-majelis ilmu supaya tidak ‘tulalit’!

5. Bekalan Yang Bersifat Jasadiyah (fisik).

Minimal sehat, bugar, dan tidak sakit-sakitan. Jika fisik kita sehat, kita bisa melakukan banyak hal, termasuk mengurusi suami yang sibuk berdakwah. Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga kesehatan, membiasakan pola hidup sehat, rajin olah raga dan lain-lain. Selain itu, jangan lupakan masalah merawat wajah dan tubuh. Ingatlah, salah satu ciri istri shalihat adalah ‘menyenangkan ketika dipandang’.

Akhirnya, ada bekalan yang lain yang tak kalah penting. Itulah sikap mudah memaafkan. Bagaimanapun saleh dan takwanya seorang aktivis, tak akan mengubah dia menjadi malaikat yang tak punya kesalahan. Seorang aktivis dakwah tetaplah manusia biasa yang bisa dan mungkin untuk melakukan kesalahan. Bukankah tak ada yang ma’shum di dunia ini selain Baginda Rasulullah?

Baca Selengkapnya......

Agar Kesuksesan Tak Menipu

Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com -“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan agar kamu jangan terlalu gembira dengan apa yang Dia berikan kepada kamu dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 22-23)

Kehidupan dunia bersifat fana. Sementara. Persis seperti kuncup bunga yang mekar dan wangi. Setelah itu jatuh gugur dan mengering disapu angin lalu. Tak beda dengan embun pagi. Kala mentari mulai meninggi, embun menguap tanpa meninggalkan jejak yang berarti.

Begitulah hakikat dunia. Karenanya segala kesenangan yang kita kecap adalah sementara. Kesusahan yang membelit pun fana. Keyakinan seperti ini adalah vitamin bagi jiwa kita untuk bisa membangun kekuatan tawazun (keseimbangan). Jiwa kita tak akan dipenuhi kesombongan dan over rasa bangga kala meraih kesuksesan dan mengecap kesenangan. Hati kita pun tidak merasa sempit, putus asa, apalagi rapuh tatkala dirundung musibah dan kegagalan.

Sikap tawazun akan terasa lezat kita kecap manakala jiwa kita melepas rasa belenggu kesusahan dan kebingungan dengan berupaya meminta bantuan kepada Allah Yang Mahakuat dan Mahakaya. Bersamaan dengan itu, kita tapaki jejak-jejak amal usaha yang bisa menjadi sebab ikhtiar kita untuk keluar belenggu dari kesusahan. Setelah itu, kita ridha dengan apa hasilnya dan pasrah pada ketentuan Allah swt. yang Mahatahu dengan maksud kehendak-Nya atas diri kita.

Sebagai mukmin sejati, kita berhajat betul pada cara pandang seperti itu agar hidup kita bisa lurus. Agar benar-benar mengurat-akar dalam jiwa, kita butuh contoh. Dan cukuplah bagi kita kisah ketawazunan para nabi dan orang-orang shalih terdahulu. Itulah cermin bagi langkah-langkah kita menapaki kefanaan ini.

Sejarah orang-orang shalih mengajarkan kepada kita bahwa setiap keberhasilan di dunia nilainya terletak pada tujuan kita. Pada niat untuk apa sesuatu itu kita capai. Bila kesuksesan yang kita rengkuh itu bertujuan untuk kebaikan diri kita dan umat manusia, maka kesuksesan itu kebaikan dan keberkahan bagi kita. Namun bila kesuksesan itu tidak kita kaitkan dengan akhirat melalui niat ikhlas, maka kesuksesan itu adalah sementara. Kesuksesan yang menipu.

Sebaliknya, jika kita gagal, kita perlu mencari tahu sebab-sebabnya. Dan kita yakin betul bahwa kegagalan yang tidak mengakibatkan kemunduran diri kita dari hal-hal yang bersifat ukhrawi adalah bukan kegagalan yang hakiki. Karena kesuksesan yang hakiki adalah kesuksesan yang berkenaan dengan kehidupan akhirat. Camkan ayat berikut ini.

“Barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, maka sesungguhnya ia beruntung. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (Ali Imran: 185)

Sungguh apa yang tersedia dalam kehidupan dunia ini jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan apa yang dicita-citakan dan diangankan manusia. Karena itu, beruntunglah orang yang selalu menghubungkan apa-apa yang diperolehnya di dunia di sepanjang hidupnya dengan akhirat yang sangat luas dan kekal.

Jangan biarkan diri kita menyerah dengan kondisi kekinian, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Kita harus selalu mengarahkan pandangan pada akibat, dengan itu kita akan keluar dari kungkungan kekinian menuju ke masa depan yang luas

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18) []

Gambar: safruddin.wordpress.com

Baca Selengkapnya......

Kuatkan Barisan, Raih Kemenangan

Oleh: Tim dakwatuna.com

Barisan Muslimin (inet)dakwatunan.com - Suatu saat Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabat:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَكْرَمِ أَخْلاَقِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ؟ تَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ

Nabi saw bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang menzhalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu.” (H.R. Baihaqi)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari-Muslim)

“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari-Muslim)

Saudaraku, dari hadis di atas dapat kita renungkan bahwa betapa besar nilai sebuah jalinan persaudaraan. Oleh karena itu, memperkokoh pilar-pilar ukhuwah islamiyah merupakan salah satu tugas penting bagi kita.

Lalu, bagaimanakah agar ruh ukhuwah tetap kokoh? Rahasianya ternyata terletak pada sejauhmana kita mampu bersungguh-sungguh menata kesadaran untuk memiliki kalbu yang bening bersih dan selamat. Karena, kalbu yang kotor dipenuhi sifat iri, dengki, hasud, dan buruk sangka, hampir dapat dipastikan akan membuat pemiliknya melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang justru dapat merusak ukhuwah. Mengapa? Sebab bila di antara sesama muslim saja sudah saling berburuk sangka, saling iri, dan saling mendengki, bagaimana mungkin akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan yang indah?

Sekali lagi Saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah berpadu dengan hati yang penuh iri, dengki, ujub, riya, dan takabur. Di dalam qalbu yang kusam dan busuk inilah justru tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang mengejawantah dalam aneka bentuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama muslim.

Dengan demikian, bila ada dua bangsa yang berperang, sekurang-kurangnya salah satu di antara mereka adalah sekumpulan manusia bejat akhlak, tamak, dan terbius oleh gejolak nafsu untuk melemahkan pihak yang lain.

Bila dua suku berseteru, setidaknya satu di antara mereka adalah manusia bermental rendah dan hina karena (mungkin) merasa sukunya lebih tinggi derajat kemuliaannya. Bila dua keluarga tak bertegur sapa, sekurang-kurangnya salah satunya telah terselimuti hawa nafsu, sehingga menganggap permusuhan adalah satu-satunya langkah yang bisa menyelesaikan masalah.

Selanjutnya, tanyakanlah kepada diri masing-masing. Adakah kita saat ini tengah merasa tidak enak hati terhadap adik, kakak, atau bahkan ayah dan ibu sendiri? Adakah kita saat ini masih menyimpan kesal kepada teman sekantor karena ia lebih diperhatikan oleh atasan? Adakah kita saat ini masih menyimpan rasa ghill -dengki- terhadap saudara seiman sesama aktivis dakwah, lantaran mungkin nasibnya lebih baik dari kita?

Bila demikian halnya, bagaimana bisa terketuk hati ini ketika mendengar ada seorang muslim yang teraniaya, ada sekelompok masyarakat muslim yang diperangi? Bagaimana mungkin kita mampu bangkit serentak manakala hak-hak muslim dirampas oleh kaum yang zhalim? Bagaimana mungkin kita akan mampu menata kembali kejayaan umat Islam?

Nah, dari sinilah seyogianya memulai langkah untuk merenungkan dan mengkaji ulang sejauhmana kita telah memahami makna ukhuwah islamiyah. Karena, justru dari sini pula Rasulullah saw. mengawali amanah kerasulannya. Betapa Rasul menyadari bahwa menyempurnakan akhlak pada hakikatnya adalah mengubah karakter dasar manusia. Karakter akan berubah seiring munculnya kesadaran setiap orang akan jati dirinya. Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran adalah jihad karena kesadaran merupakan sebutir mutiara yang hilang tersapu berlapis-lapis hawa nafsu.

Manakala kesadaran telah tersemai, jangan heran kalau Umar bin Khaththab yang pemberang adalah manusia paling pemaaf kepada musuhnya yang telah menyerah di medan perang. Seorang sahabat menempelkan pipinya di tanah dan minta diinjak kepalanya oleh sahabat bekas budak hitam yang telah dihinanya. Para sahabat yang berhijrah bersama Rasul ke Madinah, dipertautkan dalam tali persaudaraan yang indah dengan kaum Anshar, sementara kaum Muslimin Madinah ini rela berbagi tanah dan tempat tinggal dengan saudara-saudaranya seiman seaqidah tersebut.

Saudaraku, kekuatan ukhuwah memang hanya dapat dibangkitkan dengan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, tampaknya kita amat merindukan pribadi-pribadi yang menorehkan keluhuran akhlak. Pribadi-pribadi yang aneka macam buah pikirannya, sesederhana apa pun, adalah buah pikiran yang sekuat-kuatnya dicurahkan untuk meringankan atau bahkan memecahkan masalah-masalah yang menggelayut pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya sehingga berdialog dengannya selalu membuahkan kelapangan.

Tatapan matanya adalah tatapan bijak bestari sehingga siapa pun niscaya akan merasakan kesejukan dan ketenteraman. Wajahnya adalah cahaya cemerlang yang sedap dipandang lagi mengesankan karena menyemburatkan kejujuran itikad. Sementara itu, senyum yang tak pernah lekang menghias bibirnya adalah sedekah yang jauh lebih mahal nilainya daripada intan mutiara. Tak akan pernah terucap dari lisannya, kecuali untaian kata-kata yang penuh hikmah, menyejukkan, membangkitkan keinsyafan, dan meringankan beban derita siapapun yang mendengarkannya.

Jabat tangannya yang hangat adalah jabat tangan yang mempertautkan seerat-eratnya dua hati dan dua jiwa yang tiada terlepas, kecuali diawali dan diakhiri dengan ucapan salam. Kedua tangannya teramat mudah terulur bagi siapa pun yang membutuhkannya. Sementara itu, bimbingan kedua tangannya, tidak bisa tidak, selalu akan bermuara di majelis-majelis yang diberkahi Allah Azza wa Jalla.

Dengan demikian, umat Islam harus berhijrah dari keberpecahbelahan menuju ukhuwah islamiyah, seraya menepis remah-remah jahiliyah dari hati ini. Memiliki qalbu yang bersih dan selamat harus di atas segala-galanya agar kita mampu mengevaluasi diri dengan sebaik-baiknya dan menatap jauh ke depan agar Islam benar-benar dapat termanifestasikan menjadi rahmatan lil ‘aalamiin dan umat pemeluknya benar-benar menjadi “sebaik-baik umat” yang diturunkan di tengah-tengah manusia. Wallahu a’lam.

Baca Selengkapnya......

Pemimpin dan Pimpinan

Oleh: Ridwan

allahu-akbar

dakwatuna.com - “Ketika bangsa ini tertatih-tatih, haruskah kita kehilangan banyak pemimpin?”

Pemimpin dan pimpinan adalah dua kata yang seakan sama, namun memiliki dua makna yang berbeda. Ketika kita disuguhkan tentang pertanyaan manakah yang lebih baik maknanya, maka kemungkinan kita akan terlihat bingung untuk menentukan isinya.

Berbicara mengenai pemimpin atau pimpinan sudah barang tentu memiliki bawahan atau ada sesuatu yang di bawahnya, namun dalam segi pemahamannya maka akan berbeda jauh. Ketika kita bicara pemimpin maka akan tercipta sebuah stereotip yang sebenarnya harus berbeda dengan makna pimpinan.

Pimpinan memiliki pemahaman bahwa ia harus memimpin berdasarkan pengangkatan, dalam artian suka atau tidak suka bawahannya ia tetap menjadi orang yang memimpin suatu jabatan. Makna pemimpin adalah ia memimpin berdasarkan pengakuan oleh bawahan, dalam artian memang yang pantas memimpin.

Lalu apa hubungannya kita membahas pemahaman itu? dan apa konteksnya dengan kebangsaan? ada, dan ternyata ini adalah salah satu hal yang membuat kita tak bisa bangkit dari “keterpurukan”. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki wilayah yang besar dan memiliki keragaman budaya yang begitu besar. Bahkan saat ini sedang diperjuangkan untuk menjadi catatan dunia bahwa bangsa ini memiliki kebudayaan terbanyak di dunia.

Maka tak ayal lagi, kita pun sebenarnya harus segera sesadar mungkin untuk lakukan perubahan yang berarti bagi kemajuan bangsa. Berbicara pemimpin dan pimpinan, kita akan kembali kepada konteks “pendewasaan” peradaban. Dalam artian, tidak mudah menghasilkan pemimpin jika dibandingkan dengan pimpinan.

Seorang pimpinan entah itu memang “capable” atau tidak, mau tidak mau harus memimpin karena ia diangkat meski terkadang tidak memiliki jiwa pemimpin. Namun seorang pemimpin itu memang layak untuk di cari dan diperjuangkan. Mari kita coba berfikir sama-sama, apakah memang sudah banyak pemimpin di negeri ini, mari kita perhatikan hadits Rasulullah saw ini:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabann ya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabann ya. Seorang pembantu adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim )

Berbicara pimpinan bisa siapa saja untuk memimpin, namun yang harus kita kritisi adalah apakah memang dia pantas jadi pimpinan atau apa benar ia memiliki jiwa pemimpin? sebenarnya yang harus kita cari adalah pemimpin yakni orang-orang yang bertanggungjawab dengan segala kesadarannya untuk menjaga amanah yang diberikan kepadanya, yang berani mengambil resiko untuk kepentingan umum meski dirinya sendiri harus menderita.

Kondisi bangsa saat ini adalah krisis pemimpin dan bukan krisis pimpinan. Untuk menjadi pemimpin dibutuhkan waktu yang lama karena memakan proses, jika dibaratkan seperti emas yang terbenam dalm lumpur yang pekat maka harus segera di bersihkan agar memang ia terlihat sebagai barang yang berharga. Proses-proses menuju pemunculan pemimpin-pemimpin bangsa ini yang terkadang tidak jalan, betapa tidak banyak orang yang memang mau untuk lakukan itu.

Kita memang dijadikan untuk menjadi pemimpin seperti yang terkandung di dalam surat Al-Baqarah ayat 30, namun pada kehidupannya kita cenderung lupa bahwa kita itu pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban akan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan di dunia. Pemimpin itu harus melakukan islah di muka bumi agar pengakuan kita terhadap Allah seperti yang tertuang dalam surah Al-A’raf ayat 172 mengenai kesaksian kita terhadap Allah sebagai Rabb menjadi benar-benar terealisir.

Bangsa ini sedang butuh pemimpin yang memang sesuai dengan pemahaman yang sama yakni akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak ada kata-kata lagi yang harus dikedepankan selain, masihkah kita harus menunggu dipimpin oleh pimpinan yang bukan memiliki jiwa pemimpin? kita harus sama-sama bangkit dari keterpurukan dengan sadar bahwa kita itu pemimpin.

Syaikh Sayyid Quthub memberikan pemahaman bahwa seseorang akan meninggal jika rizkinya memang telah habis dan tugasnya telah selesai. Tugasnya telah selesai berarti kembali kepada pemahaman bahwa kita harus berusaha merdeka sesuai tafsiran surat Al-Imran ayat 110 yakni sebuah makna kemerdekaan yakni merdeka untuk menyatakan pendapat (amar ma’ruf), kemerdekaan untuk mengkritik yang salah (nahi munkar) dan kemerdekaan untuk beriman kepada Allah (Tafsir Al Azhar).

Seorang pemimpin harus berani tegakan amar ma’ruf nahi munkar dan menerima untuk dikritik, seorang pemimpin tidak akan berani berkata saya capek saya mau istirahat ketika memang belum terasa keadilan dan kesejahteraan yang dirasakan mayarakat.

Dan pemimpin itu tidak akan menjual keadilan hanya untuk kepentingan dirinya karena ia sadar bahwa Yasytaruna bi ayatil-lahi tsamanan qalila, sehingga meski emas sebesar dunia ini diberikan ia tidak akan goyah untuk takut melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Pemimpin itu harus menjadi pendengar setia dan penjaga keadilan untuk kesejahteraan rakyatnya sehingga rakyat menjadi merasa tentram dan melakukan yang terbaik karena memang mereka ikhlas dipimpin. (Ridwan)

Baca Selengkapnya......

Kamis, 11 Juni 2009

Bagaimana Cara Fokus?

Saya yakin, banyak orang yang sudah sadar dengan pentingnya fokus dalam hidup, bekerja, dan bisnis. Namun ternyata, dalam pelaksanaanya masih banyak yang bingung atau belum bisa untuk fokus dalam suatu hal. Penyebabnya ialah banyak artikel yang menyarankan kita fokus, tetapi tidak memberitahu bagaimana caranya fokus.

Sekarang, saya akan jelaskan langkah demi langkah untuk mencapai kondisi fokus baik dalam kehidupan, bisnis, maupun dalam bekerja. Yang perlu kita perhatikan fokus ada pekerjaan mental dan akan mempengaruhi mental Anda juga. Saat kita tidak fokus, pikiran kita akan “kesana ke mari” sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menghasilkan sesuatu.

Langkah pertama ialah identifikasikan hal-hal apa saja yang rasanya harus dilakukan. Tuliskan saja apa-apa yang Anda rasakan harus dilakukan. Fokus dulu ke perasaan Anda. Karena perasaanlah yang merasa terbebani. Tuliskan saja.

Langkah kedua ialah sama halnya dengan langkah pertama, tetapi Anda mulai menggunakan pikiran dan arsip. Jadi tidak hanya mengandalkan perasaan saja. Sekarang tanyakan, apa saja yang harus saya lakukan. Periksa arsip Anda, memo, email, surat, atau catatan ide ada termasuk apa yang Anda ingat.

Lakukan langkah pertama dan kedua ini sampai habis. Semua hal yang harus dilakukan sudah pindah ke dalam kertas. Kedua langkah ini akan mengurangi beban pikiran Anda, sebab semuanya sudah pindah ke dalam kertas.

Langkah ketiga adalah mengambil keputusan. Bacalah semua hal yang harus Anda lakukan tadi. Putuskan:

  • Mana yang harus Anda lakukan sekarang juga. Biasanya pekerjaan yang sebentar yaitu kurang dari dua menit.
  • Mana pekerjaan yang harus dilakukan segera. Penting tapi waktunya cukup lama.
  • Mana pekerjaan yang ditunda atau dijadwalkan.
  • Mana pekerjaan yang bisa Anda hapus atau dibatalkan. Usahakan Anda membatalkan pekerjaan sebanyak mungkin.
  • Tandai juga hal-hal yang ternyata bukan pekerjaan atau tugas. Biasanya hanya sebagai referensi.

Saat memeriksa dan mengambil keputusan, selalu bertanya, apakah pekerjaan ini memberikan dampak yang besar bagi saya? Mana yang paling memberikan manfaat? Apa jadinya jika pekerjaan ini dibatalkan? Kapan waktu yang tepat mengerjakannya.

Jangan khawatir jika Anda bingung dalam mengambil keputusan. Saat bingung, berhentilah dulu. Kemudian tenangkan diri Anda, bisa dengan shalat dulu, membaca al Quran, dzikir, bermain dengan keluarga, dan hal-hal lain yang membuat Anda rileks. Biarkan pikiran bawah sadar Anda yang bekerja. Setelah itu coba lihat lagi daftar pekerjaan Anda. Analisa kembali sampai Anda mampu memutuskan.

Mungkin masih bingung. Jika bingung, gunakan feeling. Jika Anda sudah memiliki visi dan visi itu menjadi bagian hidup Anda, maka feeling Anda akan mengarahkan hidup Anda ke arah yang sesuai dengan visi Anda. Jika ragu terhadap suatu pekerjaan, masukan saja ke dalam kategori “ditunda”.

Pisah-pisahkan pekerjaan yang harus dilakukan sekarang, segera, terjadwal, ditunda. Fokuslah pada pekerjaan sekarang. Ambil tindakan cepat untuk menyelesaikannya. Lupakan pekerjaan lain. Anda tidak perlu khawatir dengan pekerjaan lain sebab sudah Anda simpan pada sebuah sistem “di luar” kepala Anda.

Review kembali daftar ini setidaknya seminggu sekali karena pasti banyak mengalami perubahan. Ambil lagi keputusan, mana yang akan menjadi fokus. Lakukan terus menerus.

Baca Selengkapnya......

Senin, 08 Juni 2009

Manfaat buku

sumber dari www.motivasi-islami.com
oleh Rahmat


Banyak yang mengatakan buku adalah jendela dunia. Betul sekali, buku adalah jendela dunia. Dengan membuka buku berarti Anda membuka jendela dunia. Anda bisa melihat keluar, sesuatu yang baru atau pemandangan yang berbeda dengan apa yang ada di rumah kita. Yang dimaksud rumah adalah pikiran kita saat ini. Sebagian orang mengatakan bahwa dengan membaca sebuah buku berarti kita membuka cakrawala.

Membaca buku adalah kita menyelami dunia lain, yaitu sebuah dunia yang ada di dalam pikiran orang lain. Sementara setiap orang memiliki dunia masing-masing. Dengan membaca buku kita akan menyelami berbagai dunia orang lain yang akan memberikan kita kebijaksanaan yang lebih mendalam dalam menghadapi hidup.

Saat kita membaca buku yang membahas bisnis, berarti kita memahami suatu sudut pandang penulis buku tersebut mengenai bisnis. Kita akan menambah wawasan dan kebijaksanaan mengenai bisnis. Begitu juga, saat juta membaca buku yang membahas kehidupan lainnya, kita akan memiliki wawasan dan kebijaksanaan yang lebih baik dan mendalam dalam kehidupan.

Tidak ada, satu buku pun yang pernah ditulis di dunia yang tidak membawa manfaat. Setiap buku akan membawa manfaat kepada kita jika kita mampu menangkap makna dan hikmah. Jika kita masih kesulitan menangkap makna dan hikmah dari suatu buku, berarti kita harus meningkatkan keterbukaan pikiran kita. Hikmah dan makna sebuah buku tidak akan masuk ke dalam pikiran yang tertutup.

Satu-satunya buku yang tidak membawa manfaat adalah buku yang tidak pernah kita baca. Sekali kita membaca buku, maka makna dan hikmah buku tersebut bisa masuk ke dalam pikiran kita jika pikiran kita terbuka. Anda adalah salah seorang yang memiliki pikiran terbuka, saya yakin. Sebab Anda mampu membaca artikel ini sampai pada paragrap ini. Ini berarti, Anda akan mampu menerima makna dan hikmah dari buku manapun yang Anda baca. Selamat untuk Anda.

Baca Selengkapnya......